Kamis, 11 Agustus 2011

Bid’ah Dholalah, Apakah Itu ?

Bid’ah Dholalah, Apakah Itu ?



Ada beberapa pendekatan yang dilakukan oleh para ulama dalam mendefinisikan bid’ah. Perbedaan cara pendekatan para ulama disebabkan, apakah kata bid’ah selalu dikonotasikan dengan kesesatan, atau tergantung dari tercakup dan tidaknya dalam ajaran Islam. Hal ini disebabkan arti bid’ah secara bahasa adalah : sesuatu yang asing, tidak dikenal pada zaman Rasulullah SAW. Sehingga inti pengertian bid’ah yang sesat secara sederhana adalah: segala bentuk perbuatan atau keyakinan yang bukan bagian dari ajaran Islam, dikesankan seolah-olah bagian dari ajaran Islam, seperti membaca ayat-ayat al-Qur’an atau shalawat disertai alat-alat musik yang diharamkan, keyakinan/faham kaum Mu’tazilah, Qodariyah, Syi’ah, termasuk pula paham-paham Liberal yang marak akhir-akhir ini, dan lain-lain. Imam ‘Izzuddin bin ‘Abdus Salam sebagaimana disebutkan dalam kitab tuhfatul akhwadzi juz 7 hal 34 menyatakan: “Apabila pengertian bid’ah ditinjau dari segi bahasa, maka terbagi menjadi lima hukum :
  1. Haram, seperti keyakinan kaum Qodariyah dan Mu’tazilah.
  2. Makruh, seperti membuat hiasan-hiasan dalam masjid.
  3. Wajib, seperti belajar ilmu gramatikal bahasa arab (nahwu).
  4. Sunnah, seperti membangun pesantren atau madrasah.
  5. Mubah, seperti jabat tangan setelah shalat.

Alhasil, menurut Imam ‘Izzuddin, “Segala kegiatan keagamaan yang tidak ditemukan pada zaman Rasulullah SAW, hukumnya bergantung pada tercakupnya dalam salah satu kaidah hukum Islam, haram, makruh, wajib, sunnah, atau mubah. Sebagai contoh, belajar ilmu bahwu untuk menunjang dalam belajar ilmu syariat yang wajib, maka hukum belajar ilmu nahwu menjadi wajib.”.[1]
Penjelasan tentang bid’ah bisa kita ketahui dari dalil-dalil berikut :
  1. Hadits riwayat sayyidatina A’isyah :

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ. رواه مسلم

“Dari ‘Aisyah RA. Ia berkata: Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: Barangsiapa yang melakukan suatu perbuatan yang tiada perintah kami atasnya, maka amal itu ditolak” HR.Muslim.

Hadits ini sering dijadikan dalil untuk melarang semua bentuk perbuatan yang tidak pernah dilaksanakan pada masa Nabi SAW. Padahal maksud yang sebenarnya bukanlah seperti itu. Para ulama menyatakan bahwa hadits ini sebagai larangan dalam membuat-buat hukum baru yang tidak pernah dijelaskan dalam al-Qur’an ataupun Hadits, baik secara eksplisit (jelas) atau implisit (isyarat), kemudian diyakini sebagai suatu ibadah murni kepada Allah SWT sebagai bagian dari ajaran agama. Oleh karena itu, ulama membuat beberapa kriteria dalam permasalahan bid’ah ini, yaitu :
Pertama, jika perbuatan itu memiliki dasar dalil-dalil syar’i yang kuat, baik yang parsial (juz’i) atau umum, maka bukan tergolong bid’ah. Namun jika tidak ada dalil yang dapat dibuat sandaran, maka itulah bid’ah yang dilarang.
Kedua, memperhatikan pada ajaran ulama salaf (ulama pada abad l, ll dan lll H.). Apabila sudah diajarkan oleh mereka, atau memiliki landasan yang kuat dari ajaran kaidah yang mereka buat, maka perbuatan itu bukan tergolong bid’ah.
Ketiga, dengan jalan qiyas. Yakni, mengukur perbuatan tersebut dengan beberapa amaliyah yang telah ada hukumnya dari nash al-Qur’an dan Hadits. Apabila identik dengan perbuatan haram, maka perbuatan baru itu tergolong bid’ah muharromah. Apabila memiliki kemiripan dengan yang wajib, maka perbuatan baru itu tergolong wajib. Dan begitu seterusnya.[2]
2. Hadits riwayat Ibn Mas’ud :

عَنْ عَبْدِ اللهِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ, أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: أَلاَ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ شَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ. رواه ابن ماجه

“Dari ‘Abdullah bin Mas’ud. Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: “ Ingatlah, berhati-hatilah kalian, jangan sampai membuat hal-hal baru. Karena perkara yang paling jelek adalah membuat hal baru . dan setiap perbuatan yang baru itu adalah bid’ah. Dan semua bid’ah itu sesat.” HR. Ibnu Majah.
Hadits inipun sering dijadikan dasar dalam memvonis bid’ah segala perkara baru yang tidak ada pada zaman Rasulullah SAW, para sahabat atau tabi’in dengan pertimbangan bahwa hadits ini menggunakan kalimat kullu (semua), yang secara tekstual seolah-olah diartikan semuanya atau seluruhnya.
Namun, dalam menanggapi makna hadits ini, khususnya pada kalimat وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, terdapat perbedaan pandangan pandangan di kalangan ulama’.
Pertama, ulama’ memandang hadits ini adalah kalimat umum namun dikhususkan hanya pada sebagian saja (عام مخصوص البعض ), sehingga makna dari hadits ini adalah “bid’ah yang buruk itu sesat” . Hal ini didasarkan pada kalimat kullu, karena pada hakikatnya tidak semua kullu berarti seluruh atau semua, adakalanya berarti kebanyakan (sebagian besar). Sebagaimana contoh-contoh berikut :
  • Al-Qu’an surat Al-Anbiya’ ; 30 :

وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ أَفَلَا يُؤْمِنُونَ

“Dan dari air kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?” QS. Al-Anbiya’:30.
Meskipun ayat ini menggunakan kalimat kullu, namun tidak berarti semua makhluk hidup diciptakan dari air. Sebagaimana disebutkan dalam ayat al-Qur’an berikut ini:

وَخَلَقَ الْجَانَّ مِنْ مَارِجٍ مِنْ نَارٍ

“Dan Allah SWT menciptakan Jin dari percikan api yang menyala”. QS. Ar-Rahman:15.
Begitu juga para malaikat, tidaklah Allah ciptakan dari air.
  • Hadits riwayat Imam Ahmad :

عَنِ الْأَشْعَرِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُّ عَيْنٍ زَانِيَةٌ

Dari al-Asyari berkata: “ Rasulullah SAW bersabda: “ setiap mata berzina” (musnad Imam Ahmad)

Sekalipun hadits di atas menggunakan kata kullu, namun bukan bermakna keseluruhan/semua, akan tetapi bermakna sebagian, yaitu mata yang melihat kepada ajnabiyah.
Kedua, ulama’ menetapkan sifat umum dalam kalimat kullu, namun mengarahkan pengertian bid’ah secara syar’iyah yaitu perkara baru yang tidak didapatkan di masa Rasulullah SAW, dan tidak ada sandarannya sama sekali dalam usul hukum syariat. Telah kita ketahui bahwa perkara yang bertentangan dengan syariat baik secara umum atau isi yang terkandung di dalamnya, maka haram dan sesat. Dengan demikian, makna hadits di atas adalah setiap perkara baru yang bertentangan dengan syariat adalah sesat, bukan berarti semua perkara baru adalah sesat walaupun tidak bertentangan dengan syai’at.
Oleh karena itu, jelas sekali bahwa bukan semua yang tidak dilakukan di zaman Nabi adalah sesat. Terbukti, para sahabat juga melaksanakan atau mengadakan perbuatan yang tidak ada pada masa Rasulullah SAW. Misalnya, usaha menghimpun dan membukukan al-Qur’an, menyatukan jama’ah tarawih di masjid, adzan Jum’ah dua kali dan lain-lain. Sehingga, apabila kalimat kullu di atas diartikan keseluruhan, yang berarti semua hal-hal yang baru tersebut sesat dan dosa. Berarti para sahabat telah melakukan kesesatan dan perbuatan dosa secara kolektif (bersama). Padahal, sejarah telah membuktikan bahwa mereka adalah orang-orang pilihan yang tidak diragukan lagi keimanan dan ketaqwaannya. Bahkan diantara mereka sudah dijamin sebagai penghuni surga. Oleh karena itu, sungguh tidak dapat diterima akal, kalau para sahabat Nabi SAW yang begitu agung dan begitu luas pengetahuannya tentang al-Qur’an dan Hadits tidak mengetahuinya, apalagi tidak mengindahkan larangan Rasulullah SAW.[3]


[1] Risalatu Ahli as-Sunnah wa al-Jama’ah hal. 6-8. [2] Risalatu Ahli as-Sunnah wa  al-Jama’ah hal.6-7.
[3] Mawsu’ah Yusufiyyah juz ll hal 488.

AQIDAH AHLI SUNNAH DAN PERTENTANGANNYA DENGAN ALIRAN WAHABIYYAH/ SALAFY PALSU


1-Apakah pengertian golongan Wahabi/salafi palsu ?
Golongan Wahabi adalah satu aliran yang diasaskan oleh Muhammad Abd Wahhab pada kurun yang ke-12 hijrah di Najd Jazirah Arabiyyah.
Fahaman ini dikenali juga sebagai Aliran Kaum Muda di Malaya dan Indonesia pada tahun 30an, 40an dan 50an.
Aliran ini dinisbahkan kepada bapa beliau yang merupakan seorang dari Ulama’ mazhab Hambali. Telah menjadi adat Kaum Arab menisbahkan sesuatu itu kepada bapa ,datuk dan keatas.
Seperti Mazhab Syafi’e adalah aliran Mazhab yang dinisbahkan kepada moyangnya ,sedangkan nama pengasas yang sebenar adalah Muhammad bin Idris.Begitulah adat kaum Arab dalam menisbahkan sesuatu.
Walaupun begitu mereka yang berpegang dengan aliran ini tidak selesa dengan gelaran Wahhabi sebaliknya mendakwa mereka dari golongan Kaum Salaf atau kaum Ahli Sunnah .
Kenapakah begitu?Ini kerana istilah Wahhabi pada hari ini mula diketahui ramai akan kesesatannya dalam Aqidah dah cabang yang lain.
Oleh kerana itu harus berhati-hati dengan kaum ini kerana mereka terkadang mempergunakan nama Ahli Sunnah, Salaf dan pelbagai istilah yang baik-baik untuk mengaburi orang awam dari mencium kesesatan pegangan golongan ini.
2-Apakah diantara ajaran Wahhabi yang bertentangan dengan Aqidah Ahli Sunnah wa al-Jama’ah?
Ramai orang merasakan golongan ini hanya pembawa bid’ah dalam masaalah-masaalah Furu’(cabang) semata-mata sedangkan sebenarnya golongan ini membawa sebesar-besar bid’ah dalam masaalah Aqidah !!
Oleh kerana itu ramai dari kalangan mereka yang berwajib, para Ulama’ , para pendakwah merasakan perkara ini tidak ada keutamaan untuk ditangani dengan sungguh-sungguh.
Diantara ajaran golongan ini yang bertentangan dengan aqidah Ahli Sunnah wa al-Jamaah ialah menolak dan merendah-rendahkan pengajian sifat 20 .
Sebaliknya mereka membawa kaedah Tauhid yang baru iaitu pembahagian Tauhid yang tiga .
Defenasi tauhid tiga di sisi aliran Wahhabi:
1-Tauhid Rububiyyah.
Tauhid bagi mereka yang menyembah berhala.Kununnya mereka menyembah berhala untuk mendekatkan diri kepada Allah.Sementara berhala merupakan pengantara antara hamba dan Tuhannya.
2-Tauhid Uluhiyyah.
Tauhid bagi mereka yang beribadah hanya kepada Allah semata-mata dengan tiada sebarang perantara makhluk.
3-Tauhid Asma wa Sifat.
Beriman dengan ayat-ayat mutasybihat secara zahirnya.Seperti dikatakan Allah itu bersemayam di atas Arasy dan lain-lain lagi.
Bagaimana mungkin Tauhid itu terbahagi kepada tiga?
Sedangkan Tauhid itu hanya satu iaitu mengesakan Allah dan tidak sama sekali membeda-bedakan Tauhid seperti Tauhid yang tiga ini.
Dengan menerima konsep tauhid rububiyyah dan uluhiyyah mengikut pentafsiran seperti ini maka banyak amalan-amalan yang diperakui baik menjadi sesat dan membawa syirik kepada pelakunya.Seperti amalan Maulid Nabi,marhaban,berdiri sewaktu salawat,tabarruk(ambil berkat),tawassul(berwasilah) ,ziarah makam Nabi-nabi, Rasul-rasul ,Auliya’ dan salihin.
Sementara tauhid asma wa sifat pula membawa implikasi menjisimkan(visual) dan mentasbihkan(menyamakan) zat Allah s.a.w dengan mahkluk. Seperti menyifatkan Allah dengan tempat dan angguta(jarihah).
Ini adalah aqidah kaum Musyabbihah Mujassimah yang wujud pada kurun yang ke-4 hijrah dan dikembangkan semula oleh Ibnu Taimiyyah pada kurun ke-7 hijrah dan seterusnya dikembangkan pula oleh Muhammad Abd Wahhab pada kurun ke-12 hijrah.
3-Adakah kita boleh mengikut sebahagian daripada ajaran/amalan wahhabi atau kita diminta meninggalkan keseluruhan ajaran tersebut?
Pada saya penjelasan tentang Aqidah dan amalan agama telah jelas dan nyata seperti matahari disiang hari.Para Ulama’ telah meninggalkan penjelasan agama dengan sejelas-jelasnya dalam seluruh bidangnya didalam kitab-kitab yang sampai kepada kita.
Kalau begitu tiada keperluan lagi merujuk kepada saranan dan amalan aliran Wahhabi , kerana telah dibuktikan dalam banyak hal dimana mereka telah menyelewengkan pengertian ayat-ayat al-Quran , Hadith dan pandangan para Alim Ulama’ silam.
Bahkan telah dibuktikan mereka melakukan pemalsuan terhadap kitab-kitab Ulama’ silam dengan tujuan supaya dapat mengelirukan umat islam dan mengikut telunjuk mereka.
Berkemungkinan terdapat juga amalan-amalan mereka yang betul, akan tetapi kalaulah kebenaran sudah bercampur baur dengan kebatilan, akan menjadi kesusahan pada orang awam untuk menentukan yang mana satu betul dan salah!! Mungkin perkara benar dikatakan salah dan yang salah dikatakan benar dan diamalkan sehingga ke akhir hayat. Maka ini akan mengundang kita kepada kemurkaan Allah di dunia sehingga Akhirat.
Oleh itu jauhilah ajaran ini dan berpeganglah dengan amalan-amalan yang disepakati Ulama’, insyaallah selamat dunia akhirat.
4-Apakah akibat yang akan kita dan masyarakat dapat jika mengamalkan ajaran-ajaran Wahhabi dari segi aqidah , ibadah dan sosial?
Akibat dari sudut aqidah pastinya sangat bahaya , kerana bila tergelincir sesaorang Muslim dalam aqidah akan membawa kegelinciran dalam soal-soal yang lain.
Selain itu konsep Tauhid Rububiyyah dan Uluhiyyah disisi Kaum Wahhabi membawa implikasi kepada syiriknya amalan Maulid Nabi,bacaan barzanji,berdiri ketika selawat Nabi,marhaban,memuji-muji Nabi s.a.w, menziarahi kubur Nabi s.a.w, amalan tabarruk(ambil berkat) dan lain-lain lagi.
Dari sudut ibadah pula banyak amalan-amalan baik yang tergolong didalam bid’ah hasanah di anggap sebagai buruk dan seterusnya masyarakat mula meninggalkannya.
Contohnya amalan membaca Yasin dimalam jumaat adalah merupakan amalan yang baik.Sekurang-sekurangnya kita ada membaca al-Quran dalam seminggu.
Ini adalah implikasi dari penta’rifan bid’ah yang telah disalah ertikan oleh golongan Wahhabi ,dimana mereka mengatakan pengertian bid’ah itu segala amalan yang Nabi s.a.w tidak lakukan sewaktu hayatnya.
Sedangkan kita jumhur Ulama menta’rifkan dengan segala amalan yang baru yang hanya bertentangan dengan al-Quran,al-Sunnah,al-Ijma’ dan Qias sahaja dikatakan sebagai bid’ah yang dhalalah(sesat) dan dilarang untuk diamalkan.
Sementara amalan-amalan yang ada sandaran dari dalil-dalil samaada dari nas-nas yang bersifat khusus atau umum adalah dianjurkan untuk diamalkan selama mana tidak terdapat nas-nas yang melarang amalan tersebut.
Dari sudut sosial pula dengan munculnya golongan ini akan menimbulkan perpecahan, perbalahan didalam masyarakat dan perpecahan itu sangat dilarang didalam agama.Yang lebih membimbangkan fahaman golongan sudah menjadi kenyataan telah mendorong para pengikutnya kepada Islam militant.
Jauhilah golongan ini demi keselamatan aqidah ,ibadah dan keharmonian dalam bermasyarakat.
5-Bagaimanakah kedudukan pengikut Wahhabi dari segi pandangan Islam, samada mereka termasuk dalam golongan musyrik atau sebagainya?
Didalam aqidah Ahli Sunnah wa al-Jamaah kita diajarkan supaya bersikap tidak membudayakan sikap kafir menkafir.Walaupun telah jelas para Alim Ulama menggolongkan mereka sebagai golongan yang sesat , namun tidak mengkafir mereka.
Ramai dari kalangan Ulama’ yang menggolongkan mereka sebagai ahli bid’ah.
Namun Rasullullah s.a.w. menegaskan didalam hadithnya betapa golongan sesat itu dijanjikan Neraka dan menjanjikan Syurga kepada golongan Ahli Sunnah wa-al-Jamaah.
Terkadang golongan ini mendabik dada mengaku sebagai Ahli Sunnah sedangkan hakikat yang sebenar adalah pembohongan yang nyata.Telah terbukti aliran ini bertentangan dengan pengajian Ahli Sunnah wa al-Jamaah.
Kita menyarankan kepada para pengikut golongan ini agar bertaubat dan kembali ke pangkal jalan.
6-Bagaimana hubungan kita dari segi perkahwinan dan hubungan-hubungan yang lain termasuk sama ada mereka boleh mejadi Imam , penerima zakat dan sebagainya?
Selama mana kita tidak mengkafirkan golongan ini ,maka mereka maseh dikategorikan sebagai saudara sesama muslim yang lain.
Walaupun begitu adalah tidak wajar mempertemukan perkahwinan dengan golongan ini kerana berkemungkinan akan membawa perbalahan didalam rumah tangga.
Sementara dari sudut menjadi Imamah didalam solat adalah digalakkan kita berimam dengan Imam yang betul aqidah dan amalan.
Walaupun begitu sekiranya kita terpaksa berimamkan imam dari golongan ini , para Ulama’ mengatakan sah walaupun dianggap makruh.
Sementara sebagai penerima zakat ,saya berpandangan hulurkanlah zakat kepada mereka yang bukan tergolong dari kalangan ahli bid’ah.
7-Adakah golongan Wahhabiyyah dari kalangan SALAF ?
Mereka yang mendakwa sebagai golongan salaf masa kini sebenarnya membawa aqidah yang bertentangan dari aqidah Ahli Sunnah Wa al Jama’ah yang tulin.
Ramai para Ulama tidak menyadari hakikat kesalahan aqidah yang sedang dipromosi oleh golongan ini.
Mereka bergerak dengan menimbulkan isu-isu khilafiyyah seperti qunut, tahlil arwah, yasin malam jumaat, sah batal wudhu, dan lain-lain. Setelah para pendengar dirasakan boleh menerima perkara-perkara yang lebih berat barulah mereka mengorak langkah untuk agenda selanjutnya.
Aqidah yang dipromosi oleh golongan ini adalah aqidah “Tashbih dan Tajsim”(menyerupakan / menjisimkan zat Allah).
Ini terbukti bila kita meniliti seluruh penulisan golongan ini dalam pelbagai bahasa. Bagi kita yang berbahasa Melayu dapat membuktikan kesesatan golongan ini melalui penulisan mereka di maqalah-maqalah, laman-laman web, majalah-majalah, diskusi, kertas kerja dan pelbagai sumber.
Adakah begitu rupa pegangan salaf dalam memahami ayat-ayat mutasyabihat? Tidak sama sekali.
Bahkan dua mazhab yang masyhur di sisi Ulama’ dalam memahami mutasyabihat, mereka (salaf dan khalaf) melakukan “tafwidh dan “takwil”.
Dikalangan para sahabat yang secara jelas mengamalkan takwil seperti Saidina ‘Abbas , Ibnu Mas’ud, Saidina Ali r.a., Hassan al-Basri ,Imam Malik ,Imam al-Auza’i , Qatadah, al-Thauri , Mujahid ,Ikrimah dan lain-lain yang tersebut banyak nas-nas mereka di dalam Kitab-Kitab Tafsir.
Mereka adalah dari golongan yang mendominasi Aqidah Ibnu Taimiyyah al-Harrani.
Kalau begitu jelas mereka ini adalah bukan dari golongan yang beraqidah seperti orang Salaf.
8-Apakah dia golongan salafiah moden ?
Golongan ini adalah golongan Wahabiyyah yang diberikan penjenamaan semula selepas istilah Wahhabiyyah memberi respon yang ‘salbi’ negatif.
Dahulunya lebih dikenali dengan faham Kaum Muda di Malaysia atau Muhamadiyyah di Indonesia
Tentang Kaum muda ada terdapat ulasan dari kitab Fatwa Mufti Kerajaan Negeri Johor .
Beliau adalah al-Allamah Dato’ Sayyid Alawi bin Tahir al-Haddad , begini kenyataannya:
Yang dikatakan Kaum Muda pada pertuturan orang-orang zaman ini ialah satu kumpulan orang yang tiada cukup mengerti dan faham tentang agama Islam, mereka bersungguh-sungguh hendak menghampir dan menyatukan agama Islam kepada agama yang lain. Apa jua perkara yang terbit daripada agama Kristian dan Majusi mana yang dipandang molek dan elok pada zahirnya berkehendak mereka memalingkan hukum-hukum Islam kepadanya seperti berkata setenganh mereka itu , babi itu satu binatang yang suci…..
Ada juga yang mengunakan Istilah Faham Sunnah, Manhaj Sunnah, Ittiba’ Sunnah, Ansar Sunnah dan berbagai-bagai lagi.
9- Pandangan Para Ulama’ terhadap Gerakkan Salafiyyah al Wahhabiyyah.
Gerakkan ini diasaskan oleh Muhammad Abd Wahhab pada kurun yg ke 12 hijrah di Najd, Jazirah Arabiyyah.
Disebutkan oleh Ibn Humaid, Mufti Hanabilah di Makkah, bahawa fahaman Muhammad Abd Wahhab menyebarkan kesesatan ke serata alam.
Menjadikan Ibnu Taymiyyah dan Ibnu Qayyim sebagai idola dalam memahami aqidah, syari’ah dan akhlak.
Golongan yang menentang amalan Taqlid dan ijma’ Ulama’.
Faham yang membawa trend ‘Takfir’, Tabdi’, Tafsiq , Syirik, sesat, bid’ah dan lain-lain lagi.
Siapa juga yang bercanggah dengan kaum ini pastinya akan mendapat berbagai gelaran yang begitu mudah terpacul dari mulut mereka.
Selain itu mereka yang bercanggah pendapat dengan mereka, bukan sekadar mereka ini dianggap sesat dan syirik bahkan mereka mengharuskan untuk ditumpahkan darahnya.
Bahkan Ibnu ‘Abidin menggolongkan mereka sebagai Khawarij zaman ini.
Dr Saed Ramadhan al Buthy menyatakan dalam satu ruangan bahawa fahaman Wahhabiyyah adalah fahaman yang di rencana oleh Yahudi British untuk memporak perandakan kesatuan Umat Islam.
Sheikh Zaki Ibrahim [dalam kitabnya al Salafiah Mu’asarah ila aina? Man hum Ahlussusah Waljamah?] menyatakan dengan jelas golongan Wahhabiyyah adalah fahaman yang bertopengkan Faham Salaf.
Sedangkan mereka sebenarnya hanya mempropaganda nama salaf untuk menyakinkan ummah agar menyokong gerakkan ini bahkan beliau menyatakan dengan berani golongan ini sebenarnya adalah anak cucu cicit Khawarij.
Di dalam kitab Senjata Syari’at yang telah di tashih oleh tiga orang tokoh besar seperti Sheikh Abdullah Fahim, Hj Ahmad Tuan Husin Pokok Sena dan Hj Abdullah Abd Rahman Merbuk Kedah ada menyatakan tentang kitab Zaad al Maad karangan Ibnu Qayyim al Jauzi sebagai kitab yang terkeluar dari aliran Ahlu Sunnah wa al Jama’ah. kerana ia sebagai penyebar aliran Ibnu Taimiyyah.
9-Gerakan Kaum muda/Wahhabi di Malaysia.
Gerakkan Kaum muda di Malaysia sejak tahun 50an sebelum merdeka.
Diantara tokoh yang nenonjol gerakkan ini seperti sheikh Abu Bakar Asy’ari dan Ibrahim al-‘Aqidi.
Abu Bakar Asy’ari menggerakan gerakkan ini di Perlis Indera Kayangan sementara Sheikh Ibrahim pula di Pulau Pinang.
Ada didengar dari orang-orang tua mereka ini adalah anak murid kepada Hasan Bandung yang menggerakkan Muhammadiyyah di Indonesia.
Gerakkan Muhammadiyyah di Indonesia adalah gerakkan yang membawa fahaman Wahhabi.
Fahaman Kaum Muda yang berteraskan ajaran Wahabbi telah bertapak di Perlis dan beberapa tempat di Pulau Pinang sejak tahun 50an hasil dari gelombang Kaum muda yang didokong oleh dua tokoh ini.
Para Ulama pada masa itu telah bangun dalam menangani golongan ini ,diantaranya pertemuan dua pehak yang telah dihadiri oleh Sheikh Ghazali Mufti Perak , Sheikh Abu Bakar al-Baqir dan Ulama’-Ulama’ lain bersama tokoh-tokoh kaum muda yang diantaranya Sheikh Abu Bakar al-Asy’ari , Ibrahim al-‘Aqibi dan lain-lain.
Pertemuan itu berakhir dengan kegagalan Sheikh Ibrahim al-Aqidi menjawab beberapa soalan yang diajukan sehingga beliau jatuh dari kerusi dan meninggal dunia.
Selain itu penulisan para Ulama dalam menjawab serangan golongan ini , diantaranya penulisan Sheikh ‘Abd Qadir al-Mindili yang berjodol “ Sinar matahari buat penyuluh kesilapan Abu Bakar Asy’ari yang telah di cetak di Mesir pada Muharram tahun 1379 H beberapa tahun selepas merdeka.
Begitu juga penulisan Abu Qaniah dan Abu Zahidah yang berjodol ‘Senjata Syari’ah “dan dicetak pada 23/7 1953 telah ditashih oleh Sheikh Abdullah Fahim, Hj Ahmad Tuan Hussin Pokok Sena dan Hj Abd Rahman bin Hj Abdullah Merbuk Kedah ,menjadi bahan bukti betapa wujudnya gelombang Kaum Muda yang berpaksikan ajaran Wahhabi mula tersebar di Malaya sebelum merdeka lagi.
Bahkan dalam surat wasiat Sheikh Abdullah Fahim juga mengingatkan orang-orang Islam di Malaya agar berhati-hati dengan golongan Khawarij yang telah memasuki Negara .
10- Ibnu Taimiyyah , Ibnu Qayyim dan Gerakan Wahhabi.
Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Qayyim adalah Ulama kurun yang ke tujuh H.
Gerakan Wahhabi telah menjadi dua orang tokoh ini sebagai asas pegangan dalam semua persoalan Islam.
Ini terbukti bila mana kitab-kitab yang menjadi rujukan asas dalam penulisan dan pemikiran berdasarkan kitab-kitab karangan dua tokoh ini.
Gerakan ini berkerja keras menghimpun dan menyebarkan segala penulisan dua tokoh ini dalam pelbagai cara seperti melalui bahan cetak atau pun media elektronik.
Bahkan kalau kita meneliti laman-laman dan blog-blog golongan ini kita dapat lihat kitab-kitab dua tokoh ini sangat dominan.
Bahkan di Malaysia terdapat markaz yang diberi nama Markaz Ibnu Qayyim al-Jauzi.
Begitu juga terdapat laman web yang domennya Ibnu Qayyim.net.
Kalau kita melihat penulisan tokoh-tokoh golongan ini di Malaysia makalahnya dipenuhi dengan bahan-bahan yang dirujuk dari kitab-kitab dua tokoh ini.
Di antara kitab yang sangat masyhur seperti Fatawa Kubra karangan Ibnu Taimiyyah dan Zaad al Maad karangan Ibnu Qayyim al-Jauzi.
Lihatlah pada Mingguan Malaysia yang bertarikh 28 okt 2007 terpapar penulisan Mufti muda Perlis yang membela Ibnu Taimiyyah dengan mengatakan ramai “tukang ahli fitnah” yang menaburkan pelbagai tuduhan terhadap tokoh ini hanya kerana tidak senang dengan pendekatan Islam yang lebih terbuka dan ilmiyyah.
Adakah pendekatan tauhid tasybih dan tajsim yang terdapat didalam kitab-kitab Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Qayyim al-Khariji /al-Jauzi sebagai pendekatan ilmiyyah dan terbuka??atau ia merupakan penghancuran tauhid yang tulin yang diwarisi turun temurun dari para Ulama salihin ??
11-Ahli Sunnah al-Asya’irah.
Golongan yang bera’qidah mengikut apa yang telah dirumuskan oleh Imam Abu Hassan al-Asy’ari dikenali sebagai Asya’irah yang berasal dari kalimah jama’ Asy’ari.
Mazhab Ahli Sunnah Al-Asya’irah dan Al-Maturidiyyah adalah merupakan mazhab yang jelas dalam semua bab-bab ilmu Tauhid, walaupun begitu terdapat setengah golongan yang ingkar berpunca dari kejahilan mereka tentang hakikat mazhab Asyai’rah terutama dalam memahami sifat-sifat khabariah.
Al-Asyairah: mereka adalah merupakan tokoh-tokoh pembawa panji-panji kebenaran daripada Ulama’Muslimin yang ilmu mereka memenuhi bumi dari timur sampai ke barat.
Di antara mereka yang disebutkan oleh Sayyed Muhammad Alawi Al-Maliki sebagai tokoh-tokoh Ulama’-Ulama Asy’irah yang ilmunya memenuhi muka bumi :
1. Sheikh al-Islam Ahmad ibn Hajar al-Asqalani, pengarang kitab Fath al-Bari ala Syarh al-Bukhari.
2. Al-Imam Al-Nawawi, pengarang kitab Syarh Sahih Muslim.
3. Shaikh al-Mufassirin al-Imam al-Qurtuby pengarang kitab al-Jami’ li ahkami al-Quran.
4. Shaikh al-Islam Ibn Hajar al-Haitami pengarang kitab al-Zawajir an iqtiraf al-kabair.
5. Shaikh al-Fiqh wa al-hadith al-Imam al-Hujjah Zakariyya al-Ansyari.
6. Al-Imam Abu Bakar al-Baqillani.
7. Al-Imam al-Asqalani
8. Al-Imam al-Nasafi.
9. Al-Imam al-Syarbini.
10. Abu Hayyan al-Nahwi.
Mereka ini semuanya adalah dari Imam-Imam Asya’irah yang diperakui kebenaran ilmu yang dibawa.
12- Persaksian Para Ulama’.
Terdapat terlalu banyak persaksian para ‘Ulama’ terhadap kebenaran golongan ‘Asya’irah , sebahagiannya:
(1) Kitab Ittihaf Sadat al-Muttaqin oleh Imam al-Zabidi (syarh Ihya ‘Ulumuddin karangan Imam Ghazali).
“Apabila disebutkan golongan Ahli Sunnah wa al-Jamaah, maka maksudnya ialah orang-orang yang mengikut rumusan faham ‘Asy’ari dan faham Abu Mansur al-Maturidi”.
Ini satu isyarat yang jelas dari Imam Zabidi berhubung siapakah Ahli Sunnah wa al Jamaah yang tulin!!
Golongan ini sebenarnya tidak menyenangi banyak kenyataan-kenyataan yang terdapat dalam Ihya’ Ulumuddin karangan Imam Ghazali kerana tidak memihak kepada apa yang mereka perjuangkan.
Justeru mereka berusaha keras mencari dalil sebagai bahan bukti untuk mengendorkan kenyakinan umat Islam dengan mempersende-sendekan tulisan al-Imam yang agung ini seperti mengatakan terdapat banyak hadith-hadith dha’if (lemah) dan maudhu’(palsu).
Tetapi kalau kenyataan di dalamnya memihak dengan apa yang mereka perjuangkan serta bersesuaian dengan selera mereka pastinya mereka akan memuja dengan keterlaluan sebagaimana mereka memuja Ibnu Taymiyyah al Harrani dan mereka yang sealiran dengannya.
(2) Kitab Risalah al Mu’awanah wa al muzaharah wa al muazarah oleh Abdullah ‘Alawy al Haddad.
“Kebenaran itu jelas terpancar pada golongan yang dikenali sebagai al ‘Asy’ariyyah….. “
(3) Kitab al Bayan oleh al Ustaz al Doktor ‘Ali Jum’ah (Mufti Mesir)
“…’Aqidah Nabi s.a.w dan para sahabah adalah ‘aqidah Asya’irah .
Dikatakan kebanyakan qiraat Nabi s.a.w dalam membaca al Quran adalah qiraat Imam Nafe’ walaupun Nabi tidak pernah bertemu Imam Nafe’. Namun ulama’ tidak ragu untuk menisbahkan bacaan Nabi s.a.w dengan qiraat Imam Nafe’.
Kalau begitu tidak lah menjadi kesalahan untuk menisbahkan aqidah Nabi s.a w dan para sahabah dengan aqidah Imam Asy’ary.
Mengapa tidak ! Bila diteliti aqidah yang dirumuskan oleh al Imam ternyata hanya sekadar merumuskan dan meneguhkan(muqarrir) aqidah yang menjadi pegangan Rasullullah dan para sahabat Nabi dengan tanpa menokok tambah .
(4) Dr Sa’ed Ramadhan al Buthy dalam khutbahnya yang dipaparkan di laman web beliau yang bertajuk “al Asya’irah wa al Maturidiyyah”
“Siapakah Asya’irah dan Maturidiyyah? Mereka adalah lisan yang menterjemahkan “Aqidah sawad al a’zam” (majoriti Ulama’) dan Rasul s.a.w memerintahkan umatnya agar berpegang dengan pegangan mejoriti.
Dari penjelasan Dr Saed Ramadhan al Buty jelas beliau menyatakan yang dimaksudkan di dalam hadith Rasulullah s.a w sebagai “sawad l a’zam” (mejoriti Ulama’) adalah “Asya’irah dan Maturudiyyah”.
Beliau juga menekankan betapa dharurahnya kita berpegang dengan “sawad al a’azam” berdasarkan perintah Rasulullah s.a.w yang menyebutkan “’alaikum bi al sawad al a’azam” yang bermaksud: “Hendaklah kamu berpegang dengan amalan yang berpaksikan menjoriti ulama’.”
13-FIKH
Golongan anti mazhab
Di Malaysia setiap kali mereka mengadakan seminar kerap kali mereka akan melaungkan TA’ASUB MAZHAB
Mereka mengatakan Umat Islam di Malaysia khasnya extrim dengan Imam Shafe’.
Mereka juga melaungkan ADAB AL IKHTILAF /adab berbeda pendapat.
Tetapi sebenarnya mereka bertujuan JAHAT.Mereka menggunakan metod ini untuk mengajak kita longgar dengan pegangan dan seterusnya menjadikan fatwa mereka yang ganjil-ganjil pegangan.
Ini terbukti dalam banyak masaalah.Contohnya masaalah batal wdhu’
Mereka mengatakan tidak batal dengan bersentuh kulit diantara lelaki dan wanita yang ajnabi(halal nikah).
Kenapa mereka yang mempromosi ADAB IKHTILAF tidak menghormati ijtihad Imam Shafe’ yang menjadi amalan masyarakat Islam di Malaysia khasnya dan amnya diseluruh dunia??
Kita masyarakat Islam yang berpegang dengan MAZAHIB ISLAMIYYAH MU’TABARAH begitu menghormati perbedaan pendapat diantara mazahib.
Contohnya masaalah zakat di Malaysia diamalkan dengan menggunakan duit/nilai makanan asasi setempat.
Ini merupakan pandangan yang bertentangan dengan mazhab Syafe’.
Namun kita melihat ada kebaikan maka kita mengguna pakai pandangan mazhab yang lebih bersesuaian dengan keaadan semasa.
Dr ‘Ali Jum’ah dalam kitabnya Al Bayan menyatakan dengan tegas bahawa golongan faham ini adalah bersifat MUTASYADDID/مُتَشَدِّدٌ yang membawa
makna extreme !!
Sifat memaksa orang lain berpegang hanya pada pandangannya semata-semata adalah BID’AH MAZMUMAH .
Sementara Dr Saed Ramadhan al Buthy menyifatkan golongan anti mazhab sebagai BID’AH YANG SANGAT MERBAHAYA YANG MENGANCAM SYARIAT ISLAMIYAH.
Kenapa begitu kerana dengan sikap mereka ingin berijtihad secara terus dari sumber yang asal dan sedar akan kemampuan dirinya maka lahirlah ijtihad-ijtihad yang disifatkan oleh Sheikh Muhammad Ghazali sebagai اِجْتِهَادُ طُفُوْلِي (ijtidad anak-anak/ijtihad yang tidak matang).
14-Laungan Tajdid adakah benar satu pembaharuan?
Kerap kita mendengar laungan TAJDID, yang bermakna pembaharuan. Mereka mengatakan apa yang menjadi amalan masyarakat Islam sebagai lapuk, berkulat dan bercendawan. Amalan-amalan yang diamalkan sekian lama di Malaysia tidak bersandarkan nas-nas yang jelas dari Allah dan Rasul-Nya. Jestru itu, mereka mengatakan perlu dikaji semula segala amalan ini yang disebut sebagai TAJDID! Di antara amalan yang disebut sebagai perlu ada “TAJDID” ialah seperti berikut:
1- Amalan Yasin di malam Jumaat.
2- Tahlil arwah.
3- Kenduri arwah.
4- Bacaan Quran di samping jenazah bila berlaku kematian.
5- Bacaan Quran di Kubur.
6- Bacaan al-Fatihah bila jenazah keluar dari rumah.
7- Haram membinkan Abdullah bagi mereka yang memeluk Islam.
8- Boleh memberi dan menjawab salam daripada orang kafir.
9- Daging babi tidak najis.
10- Bersentuh dengan perempuan yang ajnabiyyah tidak membatalkan wudhuk.
11- Maulid itu syirik.
12- Bacaan barzanji itu syirik.
13- Berdiri waktu selawat juga syirik.
14- Selawat yang tiada warid itu dilarang.
15- Selawat tafrijiyyah itu syirik.
16- Tahi ayam tiada najis.
17- Bila bertembung Jumaat dan hari raya, gugur salat Jumaat.
18- Tiada air musta‘mal.
19- Boleh jama‘ dan qasar pada bila-bila masa, tanpa mengira dari sudut marhalah.
20- Sifat dua puluh tiada sunnah dalam mempelajari tauhid.
21- Tauhid yang sunnah itu, tauhid tiga T; Rububiyyah, Uluhiyyah dan Asma’ wa Sifat.
22- Taqlid pada Ulama mujtahid dilarang dan ada yang mengatakan taqlid buta.
23- Imam Ghazali itu banyak meletakkan hadith-hadith palsu dalam Ihya’ Ulumuddin.
24- Ibnu Batutah sejarawan yang tidak boleh dipegangi.
25- Tawassul dan tabarruk itu syirik.
26- Dan lain-lain lagi.
Adakah amalan-amalan ini merupakan amalan turun temurun nenek moyang yang bersifat warisan?? atau mungkin boleh dikatakan sebagai amalan-amalan yang sama seperti bersemah di sawah, bersemah di tepian pantai, amalan mandi bunga dan lain-lain??
Hujjah yang diutarakan golongan ini seakan rasional!! Tetapi tidak semua yang seakan rasional itu betul!! Seperti kenapa talaq hanya diberikan kepada kaum lelaki? Secara singkat kita berfikir seakan tidak adil!! Adakah ini sebagai rasional!! Kalau anda bersetuju dengan pandangan ini, seakan senada seirama dengan Islam Libral!! Kalau begitu setiap perkara itu perlu dilihat dengan teliti sebelum menghukum, kerana takut-takut tersalah, tersilap dan ini akan menidakkan perkara-perkara yang baik di sisi Syara‘ yang telah diamalkan sekian lama. Dan lebih menakutkan lagi, takut kita menidakkan amalan-amalan baik yang didasarkan dengan nas-nas yang bersifat umum dari al-Quran dan al-Hadith, sehingga membawa kepada menafikan keduanya! Ini sangat merbahaya!!!
Oleh kerana itu di ruangan ini saya ingin mengajak bersama merenung semula apakah benar GELOMBANG TAJDID yang dilaung-laungkan, atau sekadar gimik dan ingin mencari glamour!! atau ingin sekadar mencari kelainan!! sehingga membawa namanya dipersada tanah air sebagai wira….
Kalau ditelek-telek dan diteliti apa yang dibawa oleh GERAKAN TAJDID seakan senada seirama dengan gerakan-gerakan yang lepas seperti gerakan Hassan Bandung (persatuan Islam Bandung), Muhammadiyyah di Indonesia, Ansar al-Sunnah, Atba‘ al- Sunnah, pemikiran al-Bani, pemikiran Bin Baz, pemikiran Uthaimin, gerakan Salafiyyah (Wahhabiyyah) di Timur Tengah, gerakan kaum muda (mudah), gerakan Abu Bakar Asy‘ari di Utara Malaysia, aliran Wahhabiyyah di kurun ke 12H, pemikiran Ibnu Taimiyyah serta anak muridnya Ibnu al-Qayyim al-Jauzi (al Khaariji) di kurun ke tujuh masuk ke lapan hijrah.
Kelihatan setelah diintai-intai pemikiran golongan TAJDID senada seirama, seakan tidak dapat dipisahkan antara nada dan lagu. Tarian aliran ini memang tarian yang ditarikan oleh aliran yang disebutkan tadi. Rentak, lenggang-lenggoknya memang tidak ada cacat celanya dengan rentak tarian aliran-aliran yang disebutkan tadi.
Mungkin kita boleh mengatakan memang mereka ingin mempromosi semula tarian lama yang telah lapuk dek zaman dan bercendawan dek abad berabad.
Memang betul lah kalau mereka mengatakan itu TAJDID!! Tajdid tarian lama yang dah tak laku cuba dipersembahkan semula dengan segala macam bunga-bunga hiasan baru. Ramai yang terpukau , seperti disantau sehingga kelihatan seperti dirasuk syaitan.
Di tangan saya ada beberapa buku-buku yang ditulis pada tahun-tahun sebelum merdeka. Setelah diteliti seakan terdapat pertembungan pemikiran dan fahaman. Saling menjawab di antara satu sama lain.
Di antaranya buku yang dikeluarkan oleh PERSATUAN ISLAM BANDUNG, dikenali juga pada masa itu sebagai pengikut HASSAN BANDUNG, bertajuk “soal jawab”, cetakan pertama yang diterbitkan oleh PERSAMA PRESS, Acen Street Pulau Pinang pada tahun 1953. Kalau diamati kandungan buku tersebut terpapar di sana perkara-perkara yang dikatakan sebagai TAJDID oleh pendokong-pendokong aliran ini.
Di antaranya yang tersebut di bahagian kandungan seperti berikut:
1- Ahli kubur tak bisa dibikin dengar (masaalah talkin) .
2- Babi dan dagingnya tidak najis.
3- Taqlid dilarang.
4- Tawassul dengan berhala.
5- Fidyah puasa atas yang bisa dengan susah payah.
6- Urusan dunia boleh bid‘ah.
7- Talqin bid‘ah.
8- Jari diguyang-guyang dalam tahiyyat.
9- Ziarah kubur .
10- Qunut Rasullullah s.a.w sebulan .
11- Makanan untuk orang kematian.
12- Atba‘ dan ijtihad .
13- Talaffuz niat/melafazkan niat.
14- Quran dan tahlil buat si mati.
15- Qunut, selawat dan waktunya.
16- Masalah muqallid.
17- Wa bihamdih dalam ruku‘.
Dan lain-lain yang masih banyak lagi.
Kalau diamati isi kandungan buku Hasan Bandung ini saling tak tumpah dengan gerakan Tajdid sama ada di Malaysia maupun di seluruh dunia.
Lebih mengukuhkan hujjah lagi bila kita meneliti penulisan-penulisan Pendita Za’ba yang baru-baru ini dipaparkan oleh seorang yang baru beberapa hari bergelar Sahibus Samahah Dr. Mufti, untuk mengukuhkan hujjah-hujjahnya dalam mendokong slogan Tajdidnya. Dah habis modal ker?? Orang yang dikenali sebagai ahli bahasa pun dipikul untuk menjadikan hujjah dalam masalah agama!! Semua orang tau tentang kepakaran beliau. Rupa-rupanya sipendita ini pun telah diresap pemikiran seperti buku Hassan Bandung!!!
Yang peliknya kalau kita utarakan hadith-hadith, cepat-cepat dia melatah, mengatakan dha‘if lah!! palsu lah!! dan berbagai lagi anggapan-anggapan yang tidak menyenangkan. Yang jelasnya dalil-dalil itu tak sesuai dengan alirannya.
Tetapi kalau sesuatu dalil itu sehaluan dengan alirannya maka dalil yang tak terpakai pun menjadi hujjah seakan Hadith yang sahih dari Bukhari dan Muslim. Kita menunggang kebenaran atau kebenaran menunggang kita?? Aneh dan pelik tetapi benar!!
15-Perpecahan yang dijanjikan oleh Nabi s.a.w
Nabi s.a.w bersabda:
فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ مِنْ بَعْدِيْ فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيْرًا …
Maksudnya:
“Barangsiapa hidup selepas dari ku maka pastinya dia akan melihat perselisihan yang banyak … ”.
(Riwayat Abu Daud)
Carta Firqah:
No Nama Firqah Jumlah Aliran
1 SYI‘AH 22
2 KHAWARIJ 20
3 MU‘TAZILAH 20
4 MURJI’AH 05
5 NAJARIYYAH 03
6 JABARIYYAH 01
7 MUSYABBIHAH 01
jumlah 72
1.3 Aliran-aliran umat Islam hari ini ada yang bergerak atas nama-nama di atas seperti faham Syi‘ah dan sebahagian yang lain dengan nama-nama yang baru yang kalau diamati ternyata pemikiran faham itu berdasarkan sebahagian firqah-firqah di atas.
1.4 Rasulullah s.a.w menjanjikan kebenaran kepada golongan Ahlus Sunnah Wa al-Jama‘ah, sebagaimana di dalam hadith:
مَا أَناَ عَلَيْهِ وَأَصْحَابِيْ.
Maksudnya:
“Mereka yang berpegang dengan sunnah ku dan sunnah para sahabat”.
16-Neraca kebenaran
إِنَّ أُمَّتِي لا تَجْتَمِعُ عَلَى ضَلالَةٍ ، فَإِذَا رَأَيْتُمُ الإِخْتِلَافَ فَعَلَيْكُمْ بِسَوَادِ الأَعْظَمِ.
“Sesunguhnya (ulama’) umatku tidak akan bersepakat dalam kesesatan, dan sekiranya kamu melihat perselisihan hendaklah kamu berpegang dengan al-Sawad al-A’zham (Majoriti para ulama’).”
17-Kesimpulan
1- Dalam mencari kebenaran hendaklah kita berpegang dengan pegangan yang disepakati ramai.
2- Mempelajari Islam dari ramai guru.
3- Tinggalkan sikap TA’ASSUB kepada seseorang.
4- Mengelak diri dari guru-guru yang pandangannya berbeza dari majoriti.
5- Elakkan dari mempelajari Islam hanya dengan membaca tanpa berguru.
6- Mengawal kawasan dari dimasuki golongan ini.
7- Mengenal pasti ciri-ciri golongan ini [Lihat Lampiran I]
8- Pihak yang bertanggung jawab hendaklah sentiasa memantau di seluruh kawasan.Tanpa pemantauan yang berkala mereka akan berterusan bergerak.
9- Memastikan guru-guru yang mengajar di masjid-masjid, surau-surau pejabat dan di mana jua dari mereka yang mendapat kebenaran.
10 -Segera laporkan kepada pihak yang berwajib .
Wassalam.

Akidah Ahlussunnah Wal Jamaah


quran5
Apa yang dimaksud dengan golongan Ahlussunnah wal jamaah ?
Syekh Abu al-Fadl Abdus Syakur As-Senori dalam karyanya “Al-Kawakib al-Laama’ah fi Tahqiqi al-Musamma bi Ahli as-Sunnah wa al-Jamaah” menyebutkan definisi Ahlussunnah wal jamaah sebagai kelompok atau golongan yang senantiasa komitmen mengikuti sunnah Nabi SAW dan thoriqoh para sahabatnya dalam hal akidah, amaliyah fisik (fiqh) dan akhlaq batin (tasawwuf).
Syekh Abdul Qodir Al-Jaelani dalam kitabnya, Al-Ghunyah li Thalibi Thariq al-Haq juz I hal 80 mendefinisikan Ahlussunnah wal jamaah sebagai berikut “Yang dimaksud dengan assunnah adalah apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW (meliputi ucapan, perilaku serta ketetapan Beliau). Sedangkan yang dimaksud dengan pengertian jamaah adalah segala sesuatu yang telah disepakati oleh para sahabat Nabi SAW pada masa empat Khulafa’ur-Rosyidin dan telah diberi hidayah Allah “.
Dalam sebuah hadits dinyatakan :

عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : افترقت اليهود على إحدى وسبعين فرقة ، وتفرقت النصارى الى إثنين وسبعين فرقة ، وتفرقت أمتي على ثلاث وسبعين فرقة ، كلها في النار الاّ واحدة ، قالوا : ومن هم يا رسول الله ؟ قال : هم الذي على الذي أنا عليه وأصحابي . رواه أبو داود والترميذي وابن ماجه

“Dari Abi Hurairah r.a., Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda : Umat Yahudi terpecah menjadi 71 golongan. Dan umat Nasrani terpecah menjadi 72 golongan. Dan umatku akan terpecah menjadi 73 golongan. Semua masuk neraka kecuali satu. Berkata para sahabat : “Siapakah mereka wahai Rasulullah?’’ Rasulullah SAW menjawab : “Mereka adalah yang mengikuti aku dan para sahabatku.”. HR. Abu Dawud, Turmudzi, dan Ibnu Majah.
Jadi inti paham Ahlussunnah wal jama’ah (Aswaja) seperti tertera dalam teks hadits adalah paham keagamaan yang sesuai dengan sunnah Nabi SAW dan petunjuk para sahabatnya. Dalam hadits lain:

عن عبد الرحمن بن عمرو السلمي أنه سمع العرباض بن سارية قال وعظنا رسول الله صلى الله عليه وسلم: فعليكم بما عرفتم من سنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين. رواه احمد

Dari ‘Abdurrahman bin ‘Amr as-Sulami, sesungguhnya ia mendengar al- Irbadl bin Sariyah berkata: Rasulullah SAW menasehati kami: kalian wajib berpegang teguh pada sunnahku dan perilaku al-khulafa’ar-Rosyidin yang mendapat petunjuk.’’ HR.Ahmad.
Sejak kapan istilah golongan Ahlussunnah wal jamaah (Aswaja) muncul ?
Paling mudah melacak periode awal kelahiran terminologi (istilah) Aswaja dimulai dengan lahirnya madzhab (tauhid) al-Asy’ari dan abu Manshur al-maturidi. Tetapi kelahiran madzhab Aswaja di bidang kalam ini tidak dapat dipisahkan dengan mata rantai sebelumnya, dimulai dari periode ‘Ali bin Abi Thalib KW. Sebab dalam sejarah, tercatat para imam Aswaja di bidang akidah telah ada sejak zaman sahabat Nabi SAW, sebelum munculnya paham Mu’tazilah. Imam Aswaja pada saat itu diantaranya adalah Ali bin Abi Thalib  KW, karena jasanya menentang penyimpangan khawarij tentang al-Wa’du wa al-Wa’id dan penyimpangan qodariyah tentang kehendak Allah SWT dan kemampuan makhluk. Di masa tabi’in juga tercatat ada beberapa imam Aswaja seperti ‘Umar bin Abdul Aziz dengan karyanya “Risalah Balighah fi Raddi ‘ala al-Qodariyah”. Para mujtahid fiqh juga turut menyumbang beberapa karya teologi (tauhid) untuk menentang paham-paham di luar Aswaja, seperti Abu Hanifah dengan kitabnya “Al-Fiqhu al-Akbar” dan Imam Syafi’i dengan kitabnya “Fi tashihi an-Nubuwwah wa Raddi ‘ala al-Barohimah” .
Imam dalam teologi Aswaja sesudah itu kemudian diwakili oleh Abu Hasan Al-Asy’ari, lantaran keberhasilannya menjatuhkan paham Mu’tazilah. Dengan demikian dapat dipahami bahwa akidah Aswaja secara subtantif telah ada sejak masa para sahabat Nabi SAW. Artinya paham Aswaja tidak mutlak seperti yang dirumuskan oleh Imam Asy’ari dan Maturidi, tetapi beliau adalah dua diantara imam-imam yang telah berhasil menyusun dan merumuskan ulang doktrin paham akidah Aswaja secara sistematis sehingga menjadi pedoman akidah Aswaja.
Dalam perkembangan sejarah selanjutnya, istilah Aswaja secara resmi menjadi bagian dari disiplin ilmu keislaman. Dalam hal akidah pengertiannya adalah Asy’ariyah atau Maturidiyah. Imam Ibnu Hajar Al-Haytami berkata “Jika Ahlussunnah wal jamaah disebutkan, maka yang dimaksud adalah pengikut rumusan yang digagas oleh Imam Abu al-Hasan Al-Asy’ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi “ [1]. Dalam fiqh adalah madzhab empat, Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali. Dalam tasawwuf adalah Imam Al-Ghozali, Abu Yazid al-Busthomi, Imam al-Junaydi dan ulama’-ulama’ lain yang sepaham. Semuanya menjadi diskursus islam paham Ahlussunnah wal jamaah.
Apa latar belakang sejarah yang menyebabkan lahirnya akidah Asy’ariyah dan Maturidiyah ?
Secara faktual, tidak dapat dipungkiri bahwa awal mula terjadinya perpecahan masyarakat Islam dimulai dari Khalifah ‘Utsman bin Affan RA dan hampir melembaga pada periode Ali bin Abi Thalib KW. Perpecahan tersebut berlanjut pada persoalan akidah. Perbedaan tersebut berlangsung terus menerus secara pasang surut, terkadang volumenya kecil, terkadang juga membesar. Pada masa Abbasiyah berkuasa, sebelum periode al-Mutawakkil, terjadi keresahan yang luar biasa (mihnah) di kalangan umat Islam, akibat pemaksaan paham akidah Mu’tazilah oleh penguasa. Dalam situasi kacau dan resah itulah muncul Imam Abu Hasan al-Asy’ari menawarkan rumusan teologi sesuai dengan nash Qur’an dan hadits yang telah tersusun rapi. Kemudian oleh para ulama’ disepakati sebagai paham teologi Aswaja. Makin lama pengikut paham ini makin besar. Sementara di daerah lain, yakni Samarqand Uzbekistan dan di Mesir, Imam Abu Manshur al-Maturidi dan at-Thahawi, juga berhasil menyusun rumusan teologi yang pararel dengan rumusan Imam al-Asy’ari, semuanya mempunyai orientasi yang sama, yaitu menjawab persoalan-persoalan Islam yang sangat meresahkan pada waktu itu. Muchib Aman Ali

[1] Tathhiru al-Jinan wa al-Lisan hal 7

Benarkah Imam Muhammad Al-Bagir Syi’ah ?


الامام محمد الباقرUst. Ana minta dalil tentang Imam Muhammad Albagir itu sunny yang telah diklaim orang syiah beliau adalah syiah.
FORSAN SALAF menjawab :
Istilah Ahlussunnah wal jama’ah  muncul setelah masa Rasulullah SAW. Awal mulanya kaum muslimin dalam satu akidah berlandaskan kitabullah (Al-Qur’an) dan sunah-sunah Rasulullah SAW.
Namun ketika muncul faham-faham yang tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadits seperti kaum Khowarij, Mu’tazilah dan Syi’ah, maka para ulama di zaman itu -diantaranya Abu Hasan Al-Asy’ari- merumuskan paham ahlussunnah wal jama’ah untuk membentengi umat Islam dari kesesatan akidah. Syi’ah adalah aliran yang dicetuskan oleh Abdullah bin Saba’ yang berideologi membenci dan mencaci sahabat Abu Bakar, Umar dan beberapa sahabat lainnya dengan mengatasnamakan pecinta ahlul bayt.
Oleh karena itu, sangatlah jelas bahwa Imam Muhammad Al-Bagir bukanlah kaum Khowarij yang sangat membenci Imam Ali bin Abi Tholib, karena beliau cucu-Nya. Dan juga bukan dari kaum syi’ah, karena beliau sangat mencintai Sayyidina Abu Bakar dan Umar serta mengakui kekhalifahan mereka berdua dan juga para sahabat lainnya. Bahkan istri beliau sendiri yang bernama Farwah binti Qosim adalah keturunan sayyidina Abu Bakar, sehingga putra beliau Imam Ja’far Asshodiq berkata “ Sesungguhnya Abubakar Assiddiq telah menurunkan aku dua kali” (ibu beliau Farwah binti Qosim bin Muhammad bin Abi bakar Assiddiq, dan ibu Farwah bernama Asma’ binti Abdurrahman bin Abu bakar Assiddiq). Beliau adalah orang yang selalu mengikuti jejak orang tua beliau yang mencintai para sahabat.
Diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW berkirim salam kepada Imam Muhammad Al-Bagir melalui sahabat Jabir :

يا جابر ! يولد له مولود اسمه علي، اذا كان يوم القيامة نادى مناد : ليقم سيد العابدين، فيقوم ولده، ثم يولد له ولد اسمه محمد، فاذا ادركته يا جاير، فأقرئه مني السلام

Rasulullah SAW bersabda “ wahai Jabir, ia (Husain) akan memiliki putra bernama Ali, nanti pada hari kiamat, terdengar seruan “ berdirilah wahai pemimpin orang yang beribadah” maka berdirilah putranya. Kemudian Ali akan memiliki putra bernama Muhammad, jika engkau mendapatinya, maka sampaikan salam dariku” [1]

KESIMPULAN : Ahlussunnah wal jamaah adalah satu-satunya aliran yang benar dan pilihan salafus sholih, sebagaimana diterangkan dalam kitab Bughyah bahwa Alhabib Ali bin Abi Bakar Assakran berkata di dalam kitabnya “ Ma’arijul Hidayah” : 73 pecahan kaum muslimin semuanya sesat dan hanya satu yang benar sebagaimana dalam hadits yaitu ahlussunnah wal jamaah. Adapun perinciannya sebagai berikut : [2]
  • Mu’tazilah, terbagi menjadi 20 pecahan.
  • Syi’ah, terbagi menjadi 22 pecahan.
  • Khowarij, terbagi menjadi 20 pecahan.
  • Murjiah yang menyatakan tidak ada pengaruh dosa jika beriman dan tidak ada manfaatnya pahala bagi orang kafir. Terbagi menjadi 5 pecahan.
  • Najjariyah, terbagi menjadi 3 pecahan.
  • Jabbariyah , hanya ada satu pecahan.
  • Musyabbihah yang menyamakan Dzat Allah dengan dzat mahluk hanya ada satu pecahan.
Semua berjumlah 72 pecahan adalah ahlul bid’ah dan sesat. Kecuali satu pecahan yang benar dan selamat, yaitu Ahlussunnah wal jamaah.

[1] شرح العينية / 20-21

فقد روى الإمام الجليل ابن المديني عن جابر بن عبد الله رضي الله عنهما، أنه قال للإمام محمد المذكور، وهو صغير: رسول الله صلى الله عليه وسلم يسلم عليك، فقيل كيف ذلك؟ فقال كنت جالسا عنده عليه الصلاة والسلام ، والحسين في حجره يلاعبه ، فقال صلى الله عليه وسلم : ياجابر! يولد له مولود اسمه علي ، اذا كان يوم القيامة ، نادى مناد : ليقم سيد العابدين ، فيقوم ولده ، ثم يولد له ولد اسمه محمد ، فإذا أدركته يا جابر ، فأقرئه مني السلام .

وأولاده جعفر ، وعبد الله ، أمهما فروة بنت القاسم بن محمد بن أبي بكر الصديق رضي الله عنه ، وإبراهيم ، وعلي ، وزينب ، وأم سلمة .توفي بالمدينة سنة سبع عشرة ومائة ، أو ثمان عشرة ، أو أربع عشرة ومائة ، وقبره بالبقيع عند أبيه في قبة العباس ، وأوصى أن يكفن في قميصه الدي كان يصلي فيه .

ومن كلامه رضي الله عنه : ما دخل قلب امرئ شيء من الكبر ، إلا نقص من عقله ، مثل ما دخل من الكبر ، أو أكثر . ومنه : أن الصواعق تصيب المؤمن ، وغير المؤمن ، ولا تصيب الذاكر لله عز وجل . ومنه : ما من عبادة أفضل من عفة بطن ، أو فرج . ومنه : اعرف المودة في قلب أخيك بماله في قلبك . وكان يحب الشيخين أبا بكر وعمر رضي الله عنهما ويتولاهما .

وهو الإمام جعفر بن محمد بن علي بن الحسين بن علي بن ابي طالب ، أشهر ألقابه الصادق ، ويكني أبا عبد الله ، وقيل أبا إسماعيل . أمه فروة بنت القاسم ، كما سبق ، وأم فروة ، أسماء بنت عبد الرحمن بن ابي بكر الصديق . ولذا قال الصادق رضي الله عنه :ولدني أبو بكر مرتين .

[2] بغية المسترشدين / 298

(مسألة): قال العلامة المجتهد الشيخ علي بن أبي بكر بن السقاف علوي نفع الله به في كتابه معارج الهداية. فصل: واحذر يا أخي من البدع وأهلها، وانبذها واهجر أهلها، وأعرض عن مجالسة أربابها، واعلم أن أصول البدع في الأصول كما ذكره العلماء يرجع إلى سبعة، الأوّل: المعتزلة القائلون بأن العباد خالقو أعمالهم، وينفون الرؤية ويوجبون الثواب والعقاب وهم عشرون فرقة. والثاني: الشيعة المفرطة في حب سيدنا عليّ كرم الله وجهه، وهم اثنان وعشرون فرقة. والثالث: الخوارج المفرطة في بغض عليّ رضي الله عنه المكفرة له ولمن أذنب ذنباً كبيراً، وهم عشرون فرقة. والرابع: المرجئة القائلة بأنه لا يضر مع الإيمان معصية ولا ينفع مع الكفر طاعة، وهم خمس فرق. والخامس: النجارية الموافقة لأهل السنة في خلق الأفعال، وللمعتزلة في نفي الصفات وحدوث الكلام، وهم ثلاث فرق. السادس: الجبرية القائلة بسلب الاختيار عن العباد، وهم فرقة واحدة. السابع: المشبهة الذين يشبهون الحق بالخلق في الجسمية والحلول، وهم فرقة واحدة أيضاً. فتلك اثنان وسبعون كلهم في النار، والفرقة الناجية هم أهل السنة البيضاء المحمدية والطريقة النقية، ولها ظاهر يسمى بالشريعة، شرعة للعامة، وباطن رسم بالطريقة منهاجاً للخاصة، وخلاصة خصت بالحقيقة معراجاً لأخص الخاصة، فالأوّل نصيب الأبدان للخدمة، والثاني نصيب القلوب من العلم والمعرفة والحكمة، والثالث نصيب الأرواح من المشاهدة والرؤية اهـ.

// http://www.forsansalaf.com/2009/benarkah-imam-muhammad-al-bagir-syiah/

Ramadhlan berkah

Tadarus Dengan Suara Lantang Pada bulan Ramadlan, pahala amal kebaikan akan dilipatgandakan oleh Allah SWT. Nabi SAW sangat menganjurkan umatnya untuk memperbanyak melaksanakan ibadah kepada Allah SWT padda malam hari bulan Ramadlan. Dalam sebuah Hadits, Nabi SAW bersabda:
عن ابى هريرة رضي الله عنه أن رسول الله ص.م. قال من قام رمضان ايماناواحتسابا غفرله ماتقدم من ذنبه. (صحيح البخاري, رقم 1870 )
“dari Abi Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang memeriahkan bulan Ramadlan dengan ibadaah, (dan dilaakukan) dengan penuh keimanan dan keikhlasan, maka akan diampuni segala dosanya yang telah lalu” (Shahih al-Bukhari: 1870)
Tentang apa yang dimaksud dengan memeriahkan malam bulan Ramadlan yang ada dalam hadits ini, al-Shan’ani dalam kitabnya Subul al-Salam menjelaskan:
قيام رمضان اي قيام لياليهامصليااوتاليا. (سبل السلام, ج 2 ص 173 )
“yang dimaksud dengan qiyam Ramadlan (dalam hadits itu) adalah mengisi dan memeriahkan malam Bulan Ramadlan denga melakukan shalat atau membaca al-Qur’an” (Subul al-Salam, juz II, hal 173)
Lebih lanjut, Syaikh al-Manawi, pengarang kitab Faidl al-Qadir Syarh al-Jami’ al-Shaghir menjelaskan

ويحصل بنحو تلاوة اوصلاة اوذكر او غلم شرعي وكذاكل اخروي (فيض القدير , ج 6 ص 191 )
“Qiyam Ramadlan itu dapat dilaksanakan dengan membaca al-Qur’an, shalat, dzikir atau mempelajari ilmu agama. Dan juga dapat terwujud dalam setiap bentuk perbuatan baik.” (Faidl al-Kabir, juz VI, hal. 191)
Maka sudah jelas, bahwa membaca al-Qur’an pada malam bulan puasa itu sangat dianjurkan oleh agama. Kemudian bagaimana jika hal itu dilakukan secara bersama-sama. Yang satu membaca al-Qur’an, sedang yang lain mendengarkan serta memperhatikan bacaan tersebut? Menjawab pertanyaan ini syaikh Nawawi al-Bantani mengatakan:
فمن التلاوة المدارسة المعبر عنها بالادارة وهي ان يقرأ على غيره ويقرأ غيره عليه ولوغيرماقرأه الأول. (نهاية الزين , ص 195-194)
“Termasuk membaca al-Qur’an (pada bulan Ramadlan) adalah mudarasah, yang sering disebut pula dengan idarah. Yakni seseorang membaca pada orang lain. Kemudian orang lain itu membaca pada dirinya. (Yang seperti ini tetap sunnah) sekalipun apa yang dibaca (orang tersebut) tidak seperti yang dibaca orang pertama.” (Nihayah al-Zain, 194-195)
dan ternyata, praktik seperti ini pernah dilakukan Rasulullah SAW bersama malaikat Jibril. Dalam sebuah hadits disebutkan:

عن ابن عباس ان رسول الله ص.م. كان من اجودالناس واجودمايكون في رمضان حين يلقاه جبريل يلقاه كل ليلة يدارسه القرأن فكان رسول الله ص.م. حين يلقاه جبريل اجود من الريح المرسلة. (مسندأحمد , رقم 3358)
“Dari Ibn ‘Abbas RA bahwa Rasulullah SAW adalah orang yang paling pemurah. Sedangkan saat yang paling pemurah bagi beliau pada bulan Ramadlan adalah pada saat malaikat Jibril mengunjungi beliau. Malaikat Jibril selalu mengunjungi Nabi setiap malam bulan Ramadlan, lalu melakukan mudarasah al-Qur’an dengan Nabi. Rasulullah SAW ketika dikunjungi malaikat Jibril, lebih dermawan dari angin yang berhembus.” (Musnad Ahmad: 3358)
Dapat disimpulkan bahwa tadarus yang dilakukan di masjid-masjid atau mushalla pada malam bulan Ramadlan tidak bertentangan dengan agama dan merupakan perbuatan yang sangat baik, karena sesuai dengan tuntunan dan ajaran Nabi SAW. Jika dirasa perlu menggunakan pengeras suara, agar menambah syiar agama Islam, maka hendaklah diupayakan sesuai dengan keperluan dan jangan sampai mengganggu lingkungannya, supaya ajaran syiar tersebut bisa diraih.
Sumber: Muhyiddin Abdusshomad, Fiqh Tradisionalis, Malang:Pustaka Bayan, 2004,

Minggu, 07 Agustus 2011

Tanda-Tanda Aliran Sesat Ada di Salafy Wahabi

Tanda-Tanda Aliran Sesat Menurut Imam As-Syatibhi
Oleh : Muhammad Idrus Ramli


Ciri-ciri Aliran Sesat

Bismillaahirrohmaanirrohiim
Pada beberapa waktu yang lalu, Majlis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa tentang sesatnya aliran Ahmadiyah. Terdapat sekian banyak dalil yang diajukan oleh MUI sebagai bukti-bukti kesesatan Ahmadiyah. Dalam sebuah pertemuan di Surabaya saya mengemukakan bahwa aliran Wahhabi atau Salafi juga termasuk aliran sesat. Mendengar pernyataan ini salah seorang peserta diskusi mengajukan pertanyaan, apa bukti-bukti atau dalil-dalil kesesatan Wahhabi?
Menjawab pertanyaan tersebut, saya menjelaskan, bahwa al-Imam Abu Ishaq Asy-Syathibi telah menguraikan dalam kitabnya, al-I’tisham tentang tanda-tanda ahli bid’ah atau aliran sesat. Menurut beliau ada dua macam tanda-tanda aliran sesat.
(1) tanda-tanda terperinci, yang telah diuraikan oleh para ulama dalam kitab-kitab yang menerangkan tentang sekte-sekte dalam Islam seperti al-Milal wa al-Nihal, al-Farq bayna al-Firaq dan lain-lain.
(2) tanda-tanda umum. Menurut Asy-Syathibi, secara umum tanda-tanda aliran sesat itu ada tiga.
Perpecahan dan Perceraiberaian
Pertama, terjadinya perpecahan di antara mereka. Hal tersebut seperti telah diingatkan dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka”, (QS. 3 : 105).
“Dan Kami telah timbulkan permusuhan dan kebencian di antara mereka sampai hari kiamat”, (QS. 5 : 64).
Dalam hadits shahih, melalui Abu Hurairah radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:  “Sesungguhnya Allah ridha pada kamu tiga perkara dan membenci tiga perkara. Allah ridha kamu menyembah-Nya dan janganlah kamu mempersekutukannya, kamu berpegang dengan tali (agama) Allah dan janganlah kamu bercerai berai…”
Kemudian Asy-Syathibi mengutip pernyataan sebagian ulama, bahwa para sahabat banyak yang berbeda pendapat sepeninggal Nabi shallallahu alaihi wasallam, tetapi mereka tidak bercerai berai. Karena perbedaan mereka berkaitan dengan hal-hal yang masuk dalam konteks ijtihad dan istinbath dari al-Qur’an dan Sunnah dalam hukum-hukum yang tidak mereka temukan nash-nya.
Jadi, setiap persoalan yang timbul dalam Islam, lalu orang-orang berbeda pendapat mengenai hal tersebut dan perbedaan itu tidak menimbulkan permusuhan, kebencian dan perpecahan, maka kami meyakini bahwa persoalan tersebut masuk dalam koridor Islam. Sedangkan setiap persoalan yang timbul dalam Islam, lalu menyebabkan permusuhan, kebencian, saling membelakangi dan memutus hubungan, maka hal itu kami yakini bukan termasuk urusan agama. Persoalan tersebut berarti termasuk yang dimaksud oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam menafsirkan ayat berikut ini. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda kepada ‘Aisyah, “Wahai ‘Aisyah, siapa yang dimaksud dalam ayat, “Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka menjadi bergolongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka”, (QS. 6 : 159)?” ‘Aisyah menjawab: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Mereka adalah golongan yang mengikuti hawa nafsu, ahli bid’ah dan aliran sesat dari umat ini.” Demikian uraian Asy-Syathibi.
Setelah menguraikan demikian, kemudian Asy-Syathibi mencontohkan dengan aliran Khawarij. Di mana Khawarij memecah belah umat Islam, dan bahkan sesama mereka juga terjadi perpecahan. Mereka sebenarnya yang dimaksud dengan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam: “Mereka akan membunuh orang-orang Islam, tetapi membiarkan para penyembah berhala.”
Berkaitan dengan aliran Wahhabi, agaknya terdapat kemiripan antara Wahhabi dengan Khawarij, yaitu menjadi pemecah belah umat Islam dan bahkan sesama mereka juga terjadi perpecahan. Perpecahan sesama Wahhabi telah dibeberkan oleh Syaikh Abdul Muhsin bin Hamad al-‘Abbad al-Badr, dosen di Jami’ah Islamiyah, Madinah al-Munawwaroh dalam bukunya, Rifqan Ahl al-Sunnah bi-Ahl al-Sunnah, yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Ali Mushri.
Ada kisah menarik berkaitan dengan perpecahan di kalangan Wahhabi. AD, salah seorang teman saya bercerita pengalaman pribadinya kepada saya. “Pada April 2010 saya mengikuti daurah (pelatihan) tentang aliran Syi’ah di Jakarta yang diadakan oleh salah satu ormas Islam di Indonesia. Daurah itu dilaksanakan di Gedung LPMP Jakarta Selatan dengan peserta dari berbagai daerah di seluruh Indonesia. Dalam daurah tersebut, salah seorang pemateri yang beraliran Salafi berkata, “Aliran Syi’ah itu pecah belah menjadi 300 aliran lebih. Antara yang satu dengan yang lain, saling membid’ahkan dan bahkan saling mengkafirkan. Jadi, itulah tanda-tanda ahli bid’ah, sesama kelompoknya saja saling membid’ahkan dan saling mengkafirkan. Kalau Ahlussunnah Wal-Jama’ah tidak demikian. Tidak saling membid’ahkan, apalagi saling mengkafirkan.” Demikian kata pemateri Salafi itu.
Setelah sesi dialog selesai, saya menghampiri pemateri Salafi tadi dan bertanya, “Ustadz, Anda tadi mengatakan bahwa tanda-tanda ahli bid’ah itu, sesama kelompoknya terjadi perpecahan, saling membid’ahkan dan saling mengkafirkan. Sedangkan Ahlussunnah Wal-Jama’ah tidak demikian. Ustadz, saya sekarang bertanya, siapa yang dimaksud Ahlussunnah Wal-Jama’ah menurut Ustadz? Bukankah sesama ulama Salafi di Timur Tengah yang mengklaim Ahlussunnah Wal-Jama’ah, juga terjadi perpecahan, saling membid’ahkan dan bahkan saling mengkafirkan.
Misalnya Abdul Muhsin al-’Abbad dari Madinah menganggap al-Albani berfaham Murji’ah. Hamud al-Tuwaijiri dari Riyadh menilai al-Albani telah mulhid (tersesat). Al-Albani juga memvonis tokoh Wahhabi di Saudi Arabia yang mengkritiknya, sebagai musuh tauhid dan sunnah. Komisi fatwa Saudi Arabia yang beranggotakan al-Fauzan dan al-Ghudyan, serta ketuanya Abdul Aziz Alus-Syaikh memvonis Ali Hasan al-Halabi, murid al-Albani dan ulama Wahhabi yang tinggal di Yordania, berfaham Murji’ah dan Khawarij.
Kemudian Husain Alus-Syaikh yang tinggal di Madinah membela al-Halabi dan mengatakan bahwa yang membid’ahkan al-Halabi adalah ahli-bid’ah dan bahwa al-Fauzan telah berbohong dalam fatwanya tentang al-Halabi. Al-Halabi pun membalas juga dengan mengatakan, bahwa Safar al-Hawali, pengikut Wahhabi di Saudi Arabia, beraliran Murji’ah. Ahmad bin Yahya al-Najmi, ulama Wahhabi di Saudi Arabia, memvonis al-Huwaini dan al-Mighrawi yang tinggal di Mesir mengikuti faham Khawarij. Falih al-Harbi dan Fauzi al-Atsari dari Bahrain menuduh Rabi’ al-Madkhali dan Wahhabi Saudi lainnya mengikuti faham Murji’ah. Dan Banyak pula ulama Wahhabi yang hampir saja menganggap Bakar Abu Zaid, ulama Wahhabi yang tinggal di Riyadh, keluar dari mainstream Wahhabi karena karangannya yang berjudul Tashnif al-Nas baina al-Zhann wa al-Yaqin.
Dengan kenyataan terjadinya perpecahan di kalangan ulama Salafi seperti ini, menurut Ustadz, layakkah para ulama Salafi tadi disebut Ahlussunnah Wal-Jama’ah?” Mendengar pertanyaan tersebut, Ustadz Salafi itu hanya menjawab: “Wah, kalau begitu, saya tidak tahu juga ya”.  Demikian jawaban Ustadz Salafi itu yang tampaknya kebingungan.” Demikian kisah teman saya, AD.
Beberapa bulan sebelumnya, ketika data-data perpecahan di kalangan ulama Salafi di Timur Tengah tersebut disampaikan kepada Ustadz Ali Musri, tokoh Wahhabi dari Sumatera yang sekarang tinggal di Jember, Ustadz Ali Musri langsung mengatakan: “Data ini fitnah. Di kalangan ulama Salafi tidak ada perpecehan.” Demikian jawaban Ustadz Ali Musri pada waktu itu.
Namun tanpa diduga sebelumnya, beberapa hari kemudian, Ustadz Ali Musri membagi-bagikan beberapa buku kecil kepada mahasiswanya di STAIN Jember. Ketika saya mengajar di STAIN Jember, sebagian mahasiswa yang menerima buku-buku tersebut, meminjamkannya kepada saya. Dan ternyata, di antara buku tersebut ada yang berjudul, Rifqan Ahl al-Sunnah bi-Ahl al-Sunnah, karangan Dr. Abdul Muhsin bin Hamad al-‘Abbad al-Badar, dosen Ustadz Ali Musri ketika kuliah di Jami’ah Islamiyah, Madinah al-Munawwaroh. Ternyata dalam kitab Rifqan Ahl al-Sunnah bi-Ahl al-Sunnah, Dr. Abdul Muhsin membeberkan terjadinya perpecahan di kalangan Salafi yang sangat parah dan sampai klimaks, sampai pada batas saling membid’ahkan, tidak bertegur sapa, memutus hubungan dan sebagainya. Subhanallah, kesesatan suatu golongan dibeberkan oleh orang dalam sendiri. “Dan seorang saksi dari keluarga wanita itu memberikan kesaksiannya”, (QS. 12 : 26).
Mengikuti Teks Mutasyabihat
Kedua, mengikuti teks mutasyabihat, seperti yang diingatkan dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala: “Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya”. (QS. 3 : 7). Ayat ini menegaskan bahwa orang-orang sesat selalu mengikuti ayat-ayat mutasyabihat dalam al-Qur’an. Mereka suka mengikuti teks yang mutasyabih, bukan yang muhkam.
Menurut Asy-Syathibi, yang dimaksud mutasyabih di sini adalah teks yang samar maknanya dan belum dijelaskan maksudnya. Menurutnya, mutasyabih itu ada dua; (1) mutasyabih haqiqi seperti lafal-lafal yang mujmal (global) dan ayat-ayat yang secara literal menunjukkan keserupaan Allah subhanahu wa ta’ala dengan makhluk. Dan (2) mutasyabih relatif (idhafi), yaitu ayat yang membutuhkan dalil eksternal untuk menjelaskan makna yang sebenarnya, meskipun secara sepintas, teks tersebut memiliki kejelasan makna, seperti ketika orang-orang Khawarij berupaya membatalkan arbitrase mengambil dalil dari ayat, “ini al-hukmu illa lillah (hukum hanya milik Allah)”.  Secara literal, ayat tersebut dapat dibenarkan menjadi dalil mereka. Tetapi apabila dikaji lebih mendalam, ayat tersebut masih membutuhkan penjelasan. Berkaitan dengan hal ini Ibn Abbas memberikan penjelasan, bahwa hukum Allah subhanahu wa ta’ala itu terkadang terjadi tanpa proses arbitrase, karena ketika Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan kita melakukan arbitrase, maka hukum yang menjadi keputusannya juga dianggap sebagai hukum Allah subhanahu wa ta’ala.
Demikian pula pernyataan Khawarij yang menyalahkan Sayidina Ali radhiyallahu anhu. Menurut Khawarij, “Ali telah memerangi musuhnya, tetapi tidak melakukan penawanan.” Di sini kaum Khawarij membatasi logika mereka pada satu sisi saja, yaitu kalau memang kelompok ‘Aisyah dan Muawiyah itu boleh diperangi, mengapa mereka tidak dijadikan tawanan oleh Ali sebagaimana Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menawan musuh-musuhnya dalam peperangan? Dalam logika berpikir ini, Khawarij telah meninggalkan sisi lain, yaitu sisi yang dijelaskan oleh firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mu’min berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah.” (QS. 49 : 9).
Ayat tersebut menjelaskan tentang peperangan tanpa operasi penawanan sesudahnya terhadap pihak yang kalah. Hal ini yang tidak disadari oleh kaum Khawarij. Akan tetapi dalam perdebatan dengan Khawarij, Ibn Abbas mengingatkan mereka pada aspek yang lebih mematahkan, yaitu bahwa jika dalam peperangan Ali radhiyallahu anhu terjadi operasi penawanan, maka sebagian mereka akan mendapat bagian Ummul Mu’minin ‘Aisyah sebagai tawanannya. Dengan demikian, pada akhirnya mereka akan menyalahi al-Qur’an, yang mereka klaim berpegang teguh dengannya.
Berkaitan dengan aliran Wahhabi, kita dapati mereka selalu berpegangan dengan ayat-ayat mutasyabihat. Misalnya ketika kaum Wahhabi membaca ayat al-Qur’an, “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya”, (QS. 39 : 3), maka mereka mengatakan bahwa orang yang berdoa kepada Allah subhanahu wa ta’ala melalui perantara (tawassul) orang yang sudah wafat, berarti telah syirik dan kafir.
Kaum Wahhabi lupa, bahwa di samping mereka tidak memahami makna ibadah secara benar, mereka juga tidak menyadari bahwa bertawassul dengan para nabi dan orang-orang saleh, telah diajarkan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam, para sahabat, tabi’in dan generasi penerusnya. Sehingga dengan pemahaman yang dangkal terhadap ayat tersebut, Wahhabi akhirnya terjerumus pada pengkafiran terhadap kaum Muslimin. Dan jika diamati dengan seksama, dalam setiap pendapat yang keluar dari mainstream kaum Muslimin, kaum Wahhabi biasanya mengikuti teks-teks literal yang tidak dipahami maknanya secara benar.
Al-Imam Asy-Syathibi berkata dalam kitabnya al-I’tisham yang sangat populer: “Renungkanlah, logika berpikir mengikuti ayat-ayat mutasyabihat, dapat membawa seseorang pada kesesatan dan keluar dari jamaah. Oleh karena itu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Apabila kalian melihat orang-orang yang mengikuti ayat-ayat mutasyabihat, maka merekalah orang-orang yang disebutkan oleh Allah (sebagai orang-orang yang sesat). Hati-hatilah dengan mereka”.
Mengikuti Hawa Nafsu
Ketiga, mengikuti hawa nafsu sebagaimana diingatkan oleh firman Allah subhanahu wa ta’ala, “Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong pada kesesatan (zaigh)”, (QS. 3 : 3). Kesesatan (zaigh) adalah lari dari kebenaran karena mengikuti hawa nafsu. Dalam ayat lain, “Dan siapakah yang lebih sesat dari pada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun.” (QS. 28 : 50).
Ada kisah menarik berkaitan dengan mengikuti hawa nafsu ini. Ketika orang-orang Khawarij mengasingkan diri dan menjadi kekuatan oposisi terhadap Khalifah Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu, Ali selalu didatangi orang-orang yang memberinya saran: “Wahai Amirul Mu’minin, mereka melakukan gerakan melawan Anda.” Ali radhiyallahu anhu hanya menjawab: “Biarkan saja mereka. Aku tidak akan memerangi mereka, sebelum mereka memerangiku. Dan mereka pasti melakukannya.” Sampai akhirnya pada suatu hari, Ibn Abbas mendatanginya sebelum waktu zhuhur dan berkata: “Wahai Amirul Mu’minin, aku mohon shalat zhuhur agak diakhirkan, aku hendak mendatangi mereka (Khawarij) untuk berdialog dengan mereka.” Ali radhiyallahu anhu menjawab: “Aku khawatir mereka mengapa-apakanmu.” Ibn Abbas berkata: “Tidak perlu khawatir. Aku laki-laki yang baik budi pekertinya dan tidak pernah menyakiti orang.” Akhirnya Ali radhiyallahu anhu merestuinya. Lalu Ibn Abbas memakai pakaian yang paling bagus produk negeri Yaman.
Ibn Abbas berkata: “Aku menyisir rambutku dengan rapi dan mendatangi mereka pada waktu terik matahari. Setelah aku mendatangi mereka, aku tidak pernah melihat orang yang lebih bersungguh-sungguh dari pada mereka. Pada dahi mereka tampak sekali bekas sujud. Tangan mereka kasar seperti kaki onta. Dari wajah mereka, tampak sekali kalau mereka tidak tidur malam untuk beribadah. Lalu aku mengucapkan salam kepada mereka. Mereka menjawab: “Selamat datang Ibn Abbas. Apa keperluanmu?”
Aku menjawab: “Aku datang mewakili kaum Muhajirin dan Anshar serta menantu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Al-Qur’an turun di tengah-tengah mereka. Mereka lebih mengetahui maksud al-Qur’an dari pada kalian. Lalu sebagian mereka berkata, “Jangan berdebat dengan kaum Quraisy, karena Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: “Sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar”. (QS. 43 : 58). Kemudian ada dua atau tiga orang berkata: “Kita akan berdialog dengan Ibn Abbas.” Kemudian terjadi dialog antara Ibn Abbas dengan mereka. Setelah Ibn Abbas berhasil mematahkan argumentasi mereka, maka 2000 orang Khawarij kembali kepada barisan Sayidina Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu. Sementara yang lain tetap bersikeras dengan pendiriannya. 2000 orang tersebut kembali kepada kelompok kaum Muslimin, karena berhasil mengalahkan hawa nafsu mereka. Sementara yang lainnya, telah dikalahkan oleh hawa nafsunya, sehingga bertahan dalam kekeliruan.
Kita seringkali melihat atau mendengar kisah perdebatan para ulama Ahlussunnah Wal-Jama’ah dengan tokoh-tokoh ahli bid’ah, misalnya orang Syi’ah, Wahhabi, atau lainnya. Akan tetapi meskipun mereka berulangkali dikalahkan dalam perdebatan, dengan dalil-dalil al-Qur’an, Sunnah dan pandangan ulama salaf, mereka tidak pernah kembali kepada kebenaran, karena hawa nafsu telah mengalahkan mereka.
Tidak Mengetahui Posisi Sunnah
Al-Imam Asy-Syathibi dalam kitabnya al-I’tisham membuat sebuah pertanyaan yang dijawabnya sendiri, mengapa seseorang itu mengikuti hawa nafsu dan kemudian pendapat-pendapatnya menjelma dalam bentuk sebuah aliran sesat? Hal tersebut ada kaitanya dengan latar belakang lahirnya aliran-aliran sesat, yang sebagian besar berangkat dari ketidaktahuan terhadap Sunnah. Hal ini seperti diingatkan oleh sebuah hadits shahih, “Manusia menjadikan orang-orang bodoh sebagai pemimpin”.
Menurut Asy-Syathibi, setiap orang itu mengetahui terhadap dirinya apakah ilmunya sampai pada derajat menjadi mufti atau tidak. Ia juga mengetahui apabila melakukan introspeksi diri ketika ditanya tentang sesuatu, apakah ia berpendapat dengan ilmu pengetahuan yang terang tanpa kekaburan atau bahkan sebaliknya. Ia juga mengetahui ketika dirinya meragukan ilmu yang dimilikinya. Oleh karena itu, menurut Asy-Syathibi, seorang alim apabila keilmuannya belum diakui oleh para ulama, maka kealimannya dianggap tidak ada, sampai akhirnya para ulama menyaksikan kealimannya.
Kaitannya dengan aliran Wahhabi, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, sang pendiri aliran Wahhabi sendiri, termasuk orang yang tidak jelas kealimannya. Tidak seorang pun dari kalangan ulama yang semasa dengan Syaikh Muhammad, yang mengakui kealimannya. Bahkan menurut Syaikh Ibn Humaid dalam al-Suhub al-Wabilah, kitab yang menghimpun biografi para ulama madzhab Hanbali, Syaikh Muhammad sering dimarahi ayahnya, karena ia tidak rajin mempelajari ilmu fiqih seperti para pendahulu dan orang-orang di daerahnya. Pernyataan Syaikh Ibn Humaid, diperkuat dengan pernyataan Syaikh Sulaiman bin Abdul Wahhab, kakak kandung Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab al-Najdi, yang mengatakan dalam kitabnya al-Shawa’iq al-Ilahiyyah fi al-Radd ‘ala al-Wahhabiyyah:
“Hari ini manusia mendapat ujian dengan tampilnya seseorang yang menisbatkan dirinya kepada al-Qur’an dan al-Sunnah dan menggali hukum dari ilmu-ilmu al-Qur’an dan Sunnah. Ia tidak peduli dengan orang yang berbeda dengannya. Apabila ia diminta membandingkan pendapatnya terhadap para ulama, ia tidak mau. Bahkan ia mewajibkan manusia mengikuti pendapat dan konsepnya. Orang yang menyelisihinya, dianggap kafir. Padahal tak satu pun dari syarat-syarat ijtihad ia penuhi, bahkan demi Allah, 1 % pun ia tidak memiliknya. Meski demikian pandangannya laku di kalangan orang-orang awam. Inna lillah wa inna ilayhi raji’un.” (Syaikh Sulaiman, al-Shawaiq al-’Ilahiyyah, hal. 5).
Dewasa ini, para pengikut aliran Wahhabi atau Salafi, sebagian besar memang orang-orang yang tidak memiliki ilmu pengetahuan agama yang memadai. Ada kisah menarik berkaitan hal ini. Bahrul Ulum, teman saya yang tinggal di Surabaya, bercerita kepada saya.
“Suatu hari saya mendatangi Ustadz Mahrus Ali yang populer dengan mantan kiai NU, di rumahnya, Waru Sidoarjo. Ternyata Ustadz Mahrus Ali sedang menulis buku yang isinya mengharamkan ayam. Melihat tulisan tersebut, saya segera membuka Shahih al-Bukhari, dan di situ ada sebuah hadits yang menerangkan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah makan ayam. Saya tunjukkan kepada Ustadz Mahrus Ali, hadits dalam Shahih al-Bukhari itu sambil menyerahkan kitabnya. Ternyata, di luar dugaan, Ustadz Mahrus Ali bilang, “Hadits ini hanya diriwayatkan oleh seorang sahabat saja.” Mendengar jawaban tersebut, saya terkejut. Ternyata Ustadz Mahrus Ali mengikuti logika orientalis, menolak otoritas hadits ahad.” Demikian cerita Bahrul Ulum.
Menurut saya, sebenarnya Mahrus Ali itu bukan bermaksud mengikuti logika orientalis. Ia hanya bermaksud menutupi rasa malunya saja dengan alasan bahwa hadits tersebut hanya diriwayatkan oleh seorang sahabat saja. Sebab dalam logika Wahhabi, kedudukan hadits ahad (kebalikan hadits mutawatir) sama dengan hadits mutawatir, sama-sama menjadi pedoman dalam akidah dan hukum.
Sekitar dua tahun yang lalu, saya sering mendapat pertanyaan, mengapa LBM NU Jember tidak menulis bantahan terhadap buku-buku Mahrus Ali yang baru. LBM hanya membantah buku Mahrus Ali yang pertama. Kami dari tim LBM NU Jember memang tidak menulis bantahan terhadap buku-buku Mahrus Ali yang baru, karena disamping buku-buku yang baru, dalil dan argumentasinya sama dengan buku yang pertama, juga dalam buku-buku yang baru, pendapat-pendapatnya banyak yang berangkat dari ketidaktahuan terhadap hadits-hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam yang terdapat dalam kitab-kitab hadits.
Misalnya dalam buku kedua, Mahrus Ali mengatakan, “Kini, saya tidak mau lagi mencium tangan guru-guru saya, karena saya tidak pernah melihat para sahabat mencium tangan Nabi shallallahu alaihi wasallam.” Pernyataan ini jelas menyingkap siapa sebenarnya Mahrus Ali. Bukankah hadits-hadits yang menerangkan bahwa para sahabat mencium tangan Nabi shallallahu alaihi wasallam terdapat dalam kitab standart yang enam. Bahkan sebagian ulama ahli hadits dari generasi salaf, yaitu al-Imam al-Hafizh Abu Bakr Ibn al-Muqri’ al-Ashbihani, menulis kitab khusus tentang mencium tangan berjudul Juz’ fi Taqbil al-Yad. Tetapi Ustadz Mahrus Ali, seperti kebiasaan kaum Wahhabi, memang sangat mudah mendistribusikan vonis bid’ah dan syirik terhadap hal-hal yang tidak disetujuinya, tanpa mengetahui dalil-dalil yang semestinya.
Menghujat Generasi Salaf
Menurut al-Imam Asy-Syathibi, dari ketiga tanda-tanda aliran sesat di atas, tanda yang pertama diterangkan dalam hadits-hadits iftiraq (yang menerangkan tentang perpecahan umat Islam). Sedangkan tanda-tanda kedua dan ketiga, yaitu mengikuti teks mutasyabihat dan hawa nafsu, tidak diterangkan dalam hadits-hadits iftiraq, akan tetapi disebutkan dalam ayat al-Qur’an (QS. 3 : 7).
Selain hal tersebut, Asy-Syathibi juga menerangkan bahwa ciri khas ahli bid’ah dapat diketahui dari awal pembicaraan. Yaitu setiap bertemu orang lain, ia akan membeberkan kejelekan orang-orang terdahulu yang dikenal alim, saleh dan menjadi panutan umat. Sebaliknya ia akan menyanjung setinggi langit, orang-orang yang berbeda dengan para tokoh panutan tersebut.
Dalam hal ini Asy-Syathibi memberikan contoh bagi kita, bagaimana kaum Khawarij mengkafirkan para sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam. Padahal para sahabat telah dipuji oleh Allah dalam al-Qur’an dan dipuji oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam hadits-hadits shahih. Sebaliknya, kaum Khawarij justru memuji Abdurrahman bin Muljam al-Muradi karena telah membunuh Sayidina Ali radhiyallahu anhu.
Perbuatan serupa juga dilakukan oleh orang-orang Syi’ah. Syi’ah telah menghujat dan mengkafirkan para sahabat. Menurut Syiah, seperti dalam riwayat al-Kulaini dalam Ushul al-Kafi, sesudah Nabi shallallahu alaihi wasallam wafat, semua sahabat menjadi murtad kecuali tiga orang saja, yaitu Salman al-Farisi, Abu Dzarr al-Ghifari dan Miqdad bin al-Aswad.
Sementara kaum Wahhabi, secara ekslpisit tidak mengkafirkan para sahabat dan generasi salaf. Namun dari pandangan mereka yang membid’ahkan dan mengkafirkan beberapa amaliah generasi salaf sejak masa sahabat, tabi’in dan generasi penerusnya, seperti amaliah tawassul, istighatsah, tabarruk dan lain-lain, sebagian ulama menganggap kaum Wahhabi telah membid’ahkan dan mengkafirkan generasi salaf secara implisit. Bukankah amaliah tawassul, tabarruk, istighatsah dan lain-lain yang menjadi isu-isu kontroversi antara kaum Sunni dengan Wahhabi, telah diajarkan oleh kaum salaf, generasi sahabat, tabi’in dan generasi sesudahnya. Sebaliknya, kaum Wahhabi justru menganggap orang-orang Musyrik seperti Abu Jahal, Abu Lahab dan lain-lain lebih mantap tauhidnya dari pada kaum Muslimin yang bertawassul.
Belakangan, dari kaum Wahhabi kontemporer tidak sedikit terlontar pernyataan tokoh-tokoh mereka yang menistakan generasi salaf secara parsial (juz’i). Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, misalnya menganggap sahabat Bilal bin al-Harits al-Muzani radhiyallahu anhu telah musyrik, dalam komentarnya terhadap kitab Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari karena melakukan istighatsah di makam Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pada masa Khalifah Umar bin al-Khaththab radhiyallahu anhu. Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin dalam fatwanya, menganggap al-Imam al-Nawawi dan al-Hafizh Ibn Hajar al-’Asqalani bukan pengikut Ahlussunnah.
Syaikh Nashir al-Albani dalam fatwanya mengkafirkan al-Imam al-Bukhari karena melakukan ta’wil terhadap ayat mutasyabihat dalam al-Qur’an. Dalam kitab al-Tawassul Ahkamuhu wa Anwa’uhu, al-Albani juga mencela Sayyidah ‘Aisyah, dan menganggapnya tidak mengetahui kesyirikan. Syaikh Ahmad bin Sa’ad bin Hamdan al-Ghamidi, menganggap al-Imam al-Hafizh al-Lalika’i, pengarang kitab Syarh Ushul I’tiqad Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, tidak bersih dari kesyirikan. Demikian sekelumit contoh penistaan tokoh-tokoh Wahhabi terhadap generasi salaf dan para ulama terkemuka secara parsial.
Sulit Diajak Dialog Terbuka
Pada bulan Maret 2008, tim LBM NU Jember mengajak Mahrus Ali untuk berdialog dan berdebat secara terbuka di IAIN Sunan Ampel Surabaya. Hasilnya, dengan berbagai alasan Mahrus Ali tidak siap datang. Sesudah itu, beberapa kali ia diajak dialog di Universitas Diponegoro Semarang, kemudian di Universitas Brawijaya Malang, ia juga tidak siap. Dan terakhir dia diajak dialog di masjid di sebelah rumah tempat tinggalnya, ternyata ia tidak datang. Sepertinya ia tidak berani berdialog terbuka dengan para ulama, karena ia merasa yakin bahwa dalil-dalil yang dimilikinya sangat lemah sekali dan tidak akan mampu bertahan di arena perdebatan ilmiah.
Al-Imam Asy-Syathibi menjelaskan dalam al-I’tisham, bahwa sebagian besar kaum ahli bid’ah dan pengikut aliran sesat tidak suka berdialog dan berdebat dengan pihak lain. Menurut Asy-Syathibi, mereka tidak akan membicarakan pendapatnya dengan orang yang alim, khawatir kelihatan kalau pendapat mereka tidak memiliki landasan dalil syar’i yang otoritatif. Sikap yang mereka tampakkan ketika bertemu dengan orang alim adalah sikap pura-pura. Tetapi ketika mereka bertemu dengan orang awam, mereka akan mengajukan sekian banyak kritik dan sanggahan terhadap ajaran dan amaliah umat Islam yang sesuai dengan syari’at. Sedikit demi sedikit, mereka masukkan ajaran bid’ahnya kepada kalangan awam.
Dalam beberapa kali diskusi dengan kaum Wahhabi, seperti awal Agustus 2010 di Sampang, beberapa bulan sebelumnya di Yogyakarta dan Juli 2010 di Denpasar, tidak sedikit dari kalangan Wahhabi yang melontarkan pernyataan kepada saya, “Kita tidak perlu berdialog soal-soal khilafiyah antara Sunni dengan Wahhabi. Ini sama sekali tidak penting. Musuh kita orang-orang kafir, Amerika, Zionis dan lainnya yang dengan rapi berupaya menghancurkan umat Islam.” Begitulah kira-kira ucapan mereka.
Tentu saja ucapan itu mereka lontarkan ketika posisi mereka terdesak dalam arena perdebatan dan diskusi ilmiah yang disaksikan oleh publik. Mereka merasa khawatir, pandangan-pandangan mereka yang keluar dari mainstream kaum Muslimin akan terbongkar kelemahan dan kerapuhannya. Terbukti, mereka sendiri ketika berbicara di hadapan orang awam, tidak pernah berhenti membid’ahkan dan mengkafirkan umat Islam di luar golongan mereka. Bahkan selama ini, kelompok mereka sangat agresif membicarakan dan menyebarkan isu-isu khilafiyah antara Sunni dengan Wahhabi, maupun dengan lainnya.
Al-Imam Asy-Syathibi berkata dalam al-I’tisham: “Jangan berharap mereka (ahli bid’ah Salafy Wahabi) akan berdialog dengan seorang alim yang pakar dalam ilmunya.”
Alhamdulillaahirobbil’aalamiin….

Do’a, Bacaan Al-Qur’an, Shadaqoh & Tahlil untuk Orang Mati

Do’a, Bacaan Al-Qur’an, Shadaqoh & Tahlil untuk Orang Mati Apakah do’a, bacaan Al-Qur’an, tahlil dan shadaqoh itu pahalanya akan sampai kepada orang mati? Dalam hal ini ada segolongan yang yang berkata bahwa do’a, bacaan Al-Qur’an, tahlil dan shadaqoh tidak sampai pahalanya kepada orang mati dengan alasan dalilnya, sebagai berikut:
وَاَنْ لَيْسَ لِلْلاِءنْسنِ اِلاَّ مَاسَعَى
Dan tidaklah bagi seseorang kecuali apa yang telah dia kerjakan”. (QS An-Najm 53: 39)
Juga hadits Nabi MUhammad SAW:
اِذَامَاتَ ابْنُ ادَمَ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ اِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ اَوْعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ اَوْوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْلَهُ
Apakah anak Adam mati, putuslah segala amal perbuatannya kecuali tiga perkara; shadaqoh jariyah, ilmu yang dimanfa’atkan, dan anak yang sholeh yang mendo’akan dia.
Mereka sepertinya, hanya secara letterlezk (harfiyah) memahami kedua dalil di atas, tanpa menghubungkan dengan dalil-dalil lain. Sehingga kesimpulan yang mereka ambil, do’a, bacaan Al-Qur’an, shadaqoh dan tahlil tidak berguna bagi orang mati. Pemahaman itu bertentangan dengan banyak ayat dan hadits Rasulullah SAW beberapa di antaranya :
وَالَّذِيْنَ جَاءُوْامِنْ بَعْدِ هِمْ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَااغْفِرْلَنَا وَلاِءخْوَنِنَاالَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِاْلاِءْيمن
Dan orang-orang yang datang setelah mereka, berkata: Yaa Tuhan kami, ampunilah kami dan ampunilah saudara-saudara kami yang telah mendahului kami dengan beriman.” (QS Al-Hasyr 59: 10)
Dalam hal ini hubungan orang mu’min dengan orang mu’min tidak putus dari Dunia sampai Akherat.
وَاسْتَغْفِرْلِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنتِ
Dan mintalah engkau ampun (Muhammad) untuk dosamu dan dosa-dosa mu’min laki dan perempuan.” (QS Muhammad 47: 19)
سَأَلَ رَجُلٌ النَّبِىَّ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَارَسُوْلَ اللهِ اِنَّ اُمِى مَاتَتْ افَيَنْفَعُهَا اِنْ تَصَدَّقْتَ عَنْهَا ؟ قَالَ نَعَمْ
Bertanya seorang laki-laki kepada Nabi SAW; Ya Rasulullah sesungguhnya ibu saya telah mati, apakah berguna bagi saya, seandainya saua bersedekah untuknya? Rasulullah menjawab; yaa berguna untuk ibumu.” (HR Abu Dawud).
Dan masih banyak pula dalil-dalil yang memperkuat bahwa orang mati masih mendapat manfa’at do’a perbuatan orang lain. Ayat ke 39 Surat An-Najm di atas juga dapat diambil maksud, bahwa secara umum yang menjadi hak seseorang adalah apa yang ia kerjakan, sehingga seseorang tidak menyandarkan kepada perbuatan orang, tetapi tidak berarti menghilangkan perbuatan seseorang untuk orang lain.
Di dalam Tafsir ath-Thobari jilid 9 juz 27 dijelaskan bahwa ayat tersebut diturunkan tatkala Walid ibnu Mughirah masuk Islam diejek oleh orang musyrik, dan orang musyrik tadi berkata; “Kalau engkau kembali kepada agama kami dan memberi uang kepada kami, kami yang menanggung siksaanmu di akherat”.
Maka Allah SWT menurunkan ayat di atas yang menunjukan bahwa seseorang tidak bisa menanggung dosa orang lain, bagi seseorang apa yang telah dikerjakan, bukan berarti menghilangkan pekerjaan seseorang untuk orang lain, seperti do’a kepada orang mati dan lain-lainnya.
Dalam Tafsir ath-Thobari juga dijelaskan, dari sahabat ibnu Abbas; bahwa ayat tersebut telah di-mansukh atau digantikan hukumnya:
عَنِ ابْنِى عَبَّاسٍ: قَوْلُهُ تَعَالى وَأَنْ لَيْسَ لِلاِءنْسنِ اِلاَّ مَا سَعَى فَأَنْزَلَ اللهُ بَعْدَ هذَا: وَالَّذِيْنَ أَمَنُوْاوَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِيَتُهُمْ بِاِءْيمنٍ أَلْحَقْنَابِهِمْ ذُرِيَتَهُمْ فَأَدْخَلَ اللهُ الأَبْنَاءَ بِصَلاَحِ اْلابَاءِاْلجَنَّةَ
Dari sahabat Ibnu Abbas dalam firman Allah SWT Tidaklah bagi seseorang kecuali apa yang telah dikerjakan, kemudian Allah menurunkan ayat surat At-Thuur; 21. “dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, kami pertemukan anak cucu mereka dengan mereka, maka Allah memasukkan anak kecil ke surga karena kebaikan orang tua.
Syaekhul Islam Al-Imam Ibnu Taimiyah dalam Kitab Majmu’ Fatawa jilid 24, berkata: “Orang yang berkata bahwa do’a tidak sampai kepada orang mati dan perbuatan baik, pahalanya tidak sampai kepada orang mati,mereka itu ahli bid’ah, sebab para ulama’ telah sepakat bahwa mayyit mendapat manfa’at dari do’a dan amal shaleh orang yang hidup.